Wednesday, April 30, 2014

Agar Politik Islam Menang Di Indonesia..

Oleh Dr. Adian Husaini


Agar Politik Islam Menang
Seorang pendukung salah satu partai Islam di Indonesia.
Agar Politik Islam Menang

USAI khutbah Jumat di sebuah Masjid di kawasan Cibubur, seorang anak muda mendekati saya, dan bertanya, 

“Ustad, apakah benar ikut dalam pemilu ini haram hukumnya. Bahkan, ada yang mengatakan, ikut pemilu  itu hukumnya kufur, karena berarti terlibat dalam demokrasi, yang merupakan sistem kufur?”
 
Berulang kali pertanyaan seperti ini saya terima. Benarkah seperti itu? Untuk menjawabnya, ada baiknya kita ikuti dialog fiktif antara guru dan murid berikut ini. Mudah-mudahan dialog ini bisa kita ambil hikmahnya.  Silakan mengikutinya.


Murid:  Guru, saya dengar dari berita-berita, partai Islam diramalkan akan kalah dalam Pemilu 2014, bahkan mungkin akan semakin kecil perolehan suaranya. Apa benar begitu, Guru?


Guru:   Baik kita sepakati dulu definisi partai Islam adalah partai yang berasaskan Islam. Memang, kalau hanya mendasarkan pada pemberitaan media massa pada umumnya,  nasib partai-partai Islam seolah-olah kurang menggembirakan. Suara mereka kalah jauh dibandingkan dengan partai-partai sekuler. Banyak sebab yang diungkapkan. Kalau tidak ada perubahan yang signifikan dalam pembangunan citra partai Islam di tengah masyarakat – entah bagaimana caranya – bukan tidak mungkin perkiraan suara partai-partai Islam itu akan menjadi kenyataan.  Dan nanti, akan dikampayekan, “ Lihat tuh… partai Islam sudah tidak laku!  Masyarakat sudah lebih memilih partai sekuler!”


Murid:  Lalu, apa yang harus dilakukan oleh partai Islam, Guru, agar selamat?


Guru:   Saya mengusulkan, sebagai bagian taushiyah sesama Muslim, partai Islam perlu melakukan terobosan besar, tetapi semua itu tetap dilakukan dalam batas-batas etika Islam. Sebab, bagi Muslim, menjadi anggota legislatif itu bukan tujuan utama dan bukan segala-galanya. Saya minta maaf, menurut saya, kurang patut membuat iklan politik dengan bintang yang mengumbar aurat. Tujuan untuk meraih suara dari kalangan tertentu, menurut hemat saya, tidak harus dilakukan dengan cara menampilkan wakil dari kalangan tersebut. 

Saya paham, salah satu “ironi” dalam demokrasi, adalah tidak adanya penilaian kualitas suara. Yang dinilai hanya kuantitas. Suara kyai sama nilainya dengan suara penjahat. Suara pelacur sama hitungannya  dengan suara wanita shalihah.  Meskipun begitu, jika kita ingin menarik suara para pelacur tidak sepatutnya menampilkan sosok pelacur aktif sebagai bintang iklan partai Islam. Menurut saya, dan saya yakin, semua aktivis partai Islam sepakat, bahwa keridhaan Allah lebih penting ketimbang jumlah suara.


Murid:  Guru, kalau partai Islam tidak dengan tegas menyuarakan Islam, apa masih perlu didukung?


Guru:     Mendukung itu banyak bentuknya. Jika kita rajin memberikan taushiyah kepada tokoh-tokoh partai Islam, itu juga suatu dukungan. Begitu juga dengan dukungan doa. Dalam kaitan pemilu, pilihan kita hanya dua saja, ikut pemilu atau tidak. Jika ikut pemilu, maka kita harus memilih. Kita harus memilih yang ada; bukan yang kita inginkan keberadaannya. Nanti, kalau ada pilihan capres-cawapres, kita juga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mungkin saja semua calonnya tidak ideal. 

Misalnya, calon yang satu tidak rajin solat, tetapi memiliki pandangan positif terhadap aspirasi Islam. Calon yang lain, kelihatan cukup rajin shalat, tetapi dikelilingi orang-orang yang sangat tidak aspiratif terhadap cita-cita Islam. Calon yang lain, rajin shalat, tidak korup, tetapi sangat lemah kemampuan intelektual dan leadershipnya sehingga peluang terpilih sangat kecil.
 

Murid: Kalau seperti itu, siapa yang harus didukung, Guru?


Guru:   Sebenarnya, di sinilah tugas partai Islam untuk berjuang menampilkan calon-calon legislatif atau calon presiden yang ideal, sehingga laku dijual di tengah masyarakat. Calon seperti itu perlu disiapkan jauh-jauh sebelumnya. Saya yakin, masih ada tokoh yang layak dicalonkan, meskipun mungkin sekarang belum kelihatan. Dalam hal ini, perlu dipadukan aspek pragmatis dan idealis. 

Menurut saya, sudah saatnya partai Islam berani untuk mencalonkan sendiri calon presidennya. Pilih orang yang betul-betul mendekati kriteria pemimpin yang ideal dalam Islam. Bukan hanya karena tampan, kaya, atau populer. Ini semua perlu persiapan, perlu perencanaan, perhitungan, kesungguhan, dan yang terpenting, keyakinan akan kemenangan yang diraih dengan pertolongan Allah. Di partai-partai Islam sekarang, banyak orang-orang pintar, dan jika berpikir sunguh-sungguh, insyaAllah mampu mencari rumusan strategi yang baik.


Murid:  Guru, saya sering mendengar sekarang, perjuangan melalui sistem demokrasi, lewat parlemen tidak membuahkan hasil. Bahkan, FIS di Aljazair dan juga Al Ikhwan al Muslimun di Mesir, setelah memenangkan Pemilu, akhirnya belum berhasil juga?


Guru: Kalau kita menilai sesuatu, harus dengan standar yang jelas. Apa yang dimaksud dengan “belum berhasil”?  Apakah kalau belum berhasil meraih kekuasaan yang sempurna, lalu berarti perjuangan itu tidak ada hasilnya sama sekali?  Banyak perjuangan para Nabi yang akhirnya berujung pada kekalahan melawan penguasa zalim, seperti Nabi Ibrahim. Apakah kita mengatakan, dengan begitu, bahwa  perjuangan Nabi Ibrahim tidak ada hasilnya dan sia-sia? 

Tentu tidak!  Ada juga gerakan-gerakan Islam yang berjuang tidak lewat pemilu dan mencitakan berdirinya negara Islam (khilafah Islamiyah), tapi sudah puluhan tahun belum juga terwujud khilafah tersebut, apakah lalu dikatakan, perjuangan mereka tidak ada hasilnya sama sekali alias sia-sia juga? Di sinilah perlunya kita memahami masalah secara mendalam, meneliti secara hati-hati, sebelum menjatuhkan vonis, bahwa perjuangan tersebut adalah sia-sia atau bathil. 

Sebab, kadangkala yang kita nilai itu adalah orang-orang bahkan tokoh dan ulama yang juga bersungguh-sungguh dalam menegakkan cita-cita Islam. Bahkan, mungkin apa yang kita kerjakan sekarang ini, belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah mereka kerjakan. Lahum a’maaluhum, wa-lanaa a’maalunaa. Bagi mereka amal mereka, dan bagi kita amal kita sendiri.
 

Murid:  Guru, partai-partai Islam itu kenapa sulit bersatu? Guru pernah bilang, mereka sedang dikeroyok untuk dimusnahkan?


Guru:     Sebenarnya, yang berpecah belah itu bukan hanya partai Islam. Partai-partai sekuler juga terpecah belah. Inilah dunia manusia. Kita tidak bisa menemukan sosok atau kelompok ideal yang 100 persen sempurna. Pasti ada kekurangan dan kelemahannya. Betapa pun kondisinya, yang tetap perlu dijaga adalah silaturrahim-nya. Tapi, itu bukan berarti membenarkan perpecahan dalam Islam.


Sebab, jelas sekali, dalam QS Ali Imran:103, kita diperintahkan untuk berpegang pada “ikatan Allah” dan jangan berpecah belah, wa-laa tatafarraquu! Lebih jelas, dalam QS ash-Shaff: 4, bahwa Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi, laksana bangunan yang kokoh. 

Tentu, mafhum-mukhalafah-nya, Allah tidak cinta kepada kita, jika kita berjuang di Jalan Allah, tidak dalam barisan yang rapi; apalagi saling bermusuhan satu sama lain, saling jegal, saling caci, saling mengintai kelemahan saudara sendiri; yang lebih celaka, jika bersekutu dengan musuh untuk memerangi saudara sendiri. 

Jadi, berjuang di jalan Allah saja tidak cukup. Berjuang harus dalam barisan yang rapi; dalam ikatan yang kokoh. Lebih parah lagi, jika tidak berjuang; atau berjuang tetapi tidak berjuang di jalan Allah, tetapi di jalan thaghut atau jalan setan. Mari kita introspeksi, apakah kita berjuang di jalan Allah, karena Allah, untuk memperjuangkan kebenaran, demi tegaknya kalimah Allah; atau berjuang untuk kebanggaan diri sendiri atau lebih untuk kebanggaan kelompok!? (Diangkat dari Hidayatullah.com)

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails