Monday, October 26, 2015

PGI Bela Gereja Liar Di Singkil Tapi Diam Soal Tragedi Tolikara.


Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) kembali menyurati Presiden Jokowi berkaitan persoalan di Aceh Singkil. Dalam surat bertarikh 22 Oktober 2015 ini, PGI menyampaikan keprihatinan atas abainya Negara dalam memastikan menegakkan hak-hak masyarakat dalam menjalankan ibadahnya.

"Meneruskan Surat kami nombor 825 / PGI-XVI / 2015 bertarikh 15 Oktober 2015, yang memohon perhatian Bapak akan terjadinya pembakaran gereja di Aceh Singkil dan arus pelarian yang mengikutinya, kami mempersoalkan komitmen Kerajaan RI terhadap mandat Perlembagaan untuk melindungi segenap masyarakat (Pembukaan UUD 1945 ) dan untuk menjamin kebebasan beragama (Pasal 29 UUD 1945), "

Demikian surat PGI yang ditandatangani oleh Pendeta Dr. Henriette Hutabarat-Lebang Ketua Umum PGI dan Pendeta Gomar Gultom, MTh Sekretaris Umum PGI, sebagaimana dilansir dari website PGI, Jumat (22/10/2015).

Menurut PGI, muncul soalan kerana hanya tiga hari berselang surat yang pertama dihantar, aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil membongkar paksa beberapa gereja yang ada di Aceh Singkil.

Terhadap rangkaian pertiwa itu, PGI menegaskan beberapa hal..

Pertama, masyarakat Pakpak sudah hadir di Aceh Singkil jauh sebelum Kemerdekaan RI, dan kawasan ini adalah daerah ulayat masyarakat adat Pakpak. Lebih kurang setengah daripada masyarakat Pakpak adalah penganut agama Kristian dan olehnya mestinya mereka dilindungi oleh Negara dalam menjalankan bebebasannya beragama, termasuk untuk memiliki rumah ibadah atau gereja.

Kedua, jikalaupun Gereja-gereja di Aceh Singkil belum mempunyai Ijin Mendirikan Rumah Ibadah, sangatlah tidak layak masyarakat, apalagi aparat pemerintah, membongkar paksa rumah ibadah tersebut. Adalah tugas Negara untuk mengkaji mengapa mereka belum mempunyai izin mendirikan rumah ibadah, dan adalah tugas Negara, mestinya, untuk memudahkan mereka agar memiliki rumah ibadah dan bukan sebaliknya (Pasal 14 ayat 3 dan Pasal 28 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006).

Ketiga, pelbagai cara dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Singkil untuk melahirkan "Perjanjian" bersama organisasi masyarakat dan wakil-wakil gereja untuk mengesahkan pembakaran dan perobohan rumah ibadah tersebut. Tetapi fakta menunjukkan perwakilan gereja yang ikut menanda-tangani perjanjian tersebut berada dalam ancaman dan suasana ketakutan. Apalagi ternyata, "Perjanjian" tersebut mengandungi sekatan jumlah gereja yang dibenarkan ada di Kabupaten Aceh Singkil, suatu sekatan yang sama sekali tak berdasar. 

Keadaan sedemikian ini telah membuat umat Kristian trauma untuk memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Singkil untuk berdialog kembali. Bagi gereja-gereja di Singkil, ruang dialog nampaknya hanya selesa dilakukan di luar Aceh di bawah perhatian Kerajaan Pusat.

Keempat, saat ini Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil masih merancang untuk meneruskan membongkar paksa beberapa rumah ibadah lain. Pada masa yang sama, suasana kehidupan umat Kristian di Aceh Singkil kini berada dalam suasana yang sangat membimbangkan paska pemulangan dari pengungsian kerana berlakunya diskriminasi kerajaan terhadap mereka. Para korban yang seharusnya mendapat pemulihan, justru diperhadapkan pada suasana keselamatan yang sangat tidak boleh dijangka.

PGI menilai, beberapa perkara di atas sungguh-sungguh telah mencederakan rasa keadilan dan kemanusiaan di bumi Indonesia. Oleh kerana itu, PGI memohon perhatian Presiden Jokowi yang lebih serius dan secepat mungkin atas permasahalah yang terjadi di Aceh Singkil, dengan harapan agar Kerajaan sungguh-sungguh memedomani Perlembagaan yang berlaku di Negara kita dan tidak tunduk pada tekanan kumpulan intoleran yang tidak siap dan sedia hidup bersama di tengah masyarakat majmuk, Presiden memerintahkan aparat TNI dan Polri bertindak adil dan benar serta dapat menjamin rasa aman dari masyarakat. Segala tindak anaksisme mesti mendapat pengendalian yang tepat.

Selain itu, Presiden boleh memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil mencabut pelbagai "Perjanjian" yang mengakibatkan kecederaan Perlembagaan RI dan undang-undang yang berlaku, dan memerintahkan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil untuk membina semula rumah-rumah ibadah yang dibakar oleh massa dan yang sempat dibongkar paksa oleh aparat Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, sebagaimana hal baik yang telah Kerajaan lakukan dalam menyikapi Peristiwa Tolikara.

Dalam surat tersebut PGI juga melampirkan Legal Opinion yang disusun oleh Pengarah LBH Jakarta, beberapa waktu lalu, berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil, sebagai masukan bagi Presiden Jokowi dalam memahami seluruh peristiwa yang terjadi di Aceh Singkil dan dalam rangka mempertimbangkan hal-hal yang telah PGI sampaikan di atas. (IH/EM)

Lihat sebelum ini..


Juga..
E-Buku IH-61: P.Kebajikan B/Aceh M'sia
E-Buku IH-61: P.Kebajikan B/Aceh M'sia

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails