Friday, July 31, 2015

Mengapa Presiden Jokowi Diam Semasa Teroris Kristian Serang Masjid?

 Mengapa Sikap Presiden Jokowi Diam Saja Semasa Teroris Kristian Menyerang Masjid?

SATU perkara pelek dan luar biasa, bila Presiden Indonesia, presiden negara umat Islam terbesar di dunia tidak mengeluarkan sebarang kenyataan menentukan sikap, apabila masjid atau rumah ibadat orang Islam diserang oleh golongan yang disifatkan sebagai teroris Kristian?

Sikap presiden yang diam saja, bahkan cenderung dengan aksi terorisme di Tolikara, semakin mengaburkan substansi masalah. Pegawai kerajaannya pun menjadi bingung kerana seakan-akan belum mendapat restu bertindak dari kepala negara, maka tindakan mereka pun setengah hati, sehingga proses pencarian fakta menjadi berlarutan.

Peristiwa sebuah masjid Muttaqieb di Tolikara, Papua, Indonesia dibakar ketika solat Aidil Fitri, Jumaat (17/7/2015) lalu. Segera, peristiwa itu menjadi berita di hampir seluruh media. Namun, ternyata banyak pemberitaan yang kabur dari kebenaran.

Berikut ini cara media mengaburkan kes pembakaran Masjid Baitul Muttaqien di Tolikara Papua:

Pertama, yang dibakar adalah disebut mushollah atau surau.


Banyak media memberitakan bahawa yang dibakar adalah mushollah. Baik di judul mahupun badan berita, yang disebut adalah mushollah. Istilah mushollah tentu membuat awam mempunyai persepsi berbeza. Mushollah itu kecil, tidak dipakai solat Jumaat. Hakikatnya, yang dibakar adalah Masjid Baitul Muttaqin.
 

Kedua, yang dibakar adalah kedai.
 

Lebih berat sebelah lagi, berita-berita yang menyebutkan bahawa yang dibakar adalah kedai bukan masjid atau mushollah. Berita-berita tersebut berpunca dari Kepala Staf Presiden Republik Indonesia, Luhur Binsar Panjaitan. CNN Indonesia menurunkan dalam berita bertajuk "Luhut: Pembakaran Berlaku di Gerai Bukan di Musala"
 

Ketiga, tindakan tidak ditujukan kepada umat Islam.
 

Selain menyebut yang dibakar adalah kedai, Luhut juga menyebut bahawa tindakan tersebut tidak ditujukan kepada umat Islam. Padahal, kelompok massa yang diketahui berasal dari Jemaat Gereja Injili Di Indonesia (Gídí) itu sempat menyerang ke arah jamaah solat Aidil Fitri sebelum akhirnya membakar masjid.
 

Keempat, tukar berita menjadi berat sebelah.
 

Laman Metrotvnews misalnya, diketahui melakukan perubahan berita yang semula berjudul "Saat Imam Takbir Pertama, sekumpulan orang datang dan lempari Musala di Tolikara" menjadi "Amuk massa berlaku di Tolikara".

Isi berita pun diubah, yang semula menyebut "Sejam kemudian, orang-orang itu melempari Musala Baitul Mutaqin yang berada di sekitar lokasi kejadian. Mereka juga membakar rumah ibadah tersebut "diubah menjadi" Sejam kemudian, orang-orang itu membaling batu dan membakar bangunan di sekitar lokasi kejadian. Enam rumah dan sebelas kedai pun menjadi sasaran amukan orang-orang itu. "
 

Kelima, mengarahkan pada persepsi umat Islam yang salah

Kendati memberitakan rumah ibadah umat Islam dibakar, sejumlah media banyak memberitakan dari sumber yang menyebut punca peristiwa tersebut adalah umat Islam yang memakai speaker atau umat Islam telah diingatkan tidak merayakan hari raya. Berita-berita tersebut agaknya membentuk persepsi pembaca bahawa bagaimanapun juga yang salah adalah umat Islam.
 
Keenam, tidak menyebut tindakan keganasan.
 
Ketika ada pemusnahan rumah ibadat bukan Muslim, dengan serta merta media-media menyebut tindakan tersebut sebagai tindakan keganasan dan pelakunya adalah pengganas. Namun ketika yang dibakar adalah masjid, banyak media enggan menyebut tindakan tersebut sebagai keganasan dan pelakunya adalah pengganas.
 
Ketujuh, membesar-besarkan info jatuhnya korban dari pihak non-Muslim.
 
Mereka juga memesongkan pendapat dengan mempengaruhi pandangan lain seakan-akan jatuhnya korban dari pihak non-Muslim. 1 orang ditembak mati dan yang lainnya luka-luka.
 
Ingat di mana-mana yang namanya korban adalah objek perbuatan jenayah, dalam hal ini tentu saja pihak Muslim yang diserang, jika ada yang terluka dari pihak penyerang maka bukan "korban / victim" dalam erti kata sebenarnya, itu akibat perbuatan jahat.
 
Kelapan, mencipta pendapat bahawa mereka diserang.
 
Mereka membuat berita bahawa sebenarnya kumpulan non-Muslim mahu datang untuk berdialog bukan menyerang, tiba-tiba pegawai penjaga menyerang mereka. Ini tidak masuk akal, mana mungkin pegawai kerajaan tiba-tiba menyerang tanpa ada syarat-syarat yang menurut mereka mengancam keselamatan atau membahayakan.
 
Fitnah mereka luar biasa bahawa mereka berani menyudutkan / mengorbankan aparat keamanan Indonesia sebagai pihak yang patut disalahkan. Ini juga menyedarkan kita betapa akses dan peranan umat Islam dalam pemerintahan kita begitu lemah.
 
Kesembilan, Presiden tidak mengeluarkan kenyaaan sikap, seperti yang disebutkan di atas.
 
Sikap presiden yang diam saja, bahkan cenderung cuek dengan aksi terorisme di Tolikara, semakin mengaburkan masalah. Sikap pegawai kerajaan menjadi bingung untuk bertindak.

Sebelum ini, Weblog Ibnu Hasyim di Malaysia menyokong penuh terhadap sejumlah tokoh bergabung dalam Jawatankuasa Umat untuk Tolikara (Komat Tolikara), Papua Indonesia, yang telah mengeluarkan tujuh pernyataan sikap berkaitan rusuhan di Tolikara.

 Mereka meminta, Mendagri Tjahjo Kumolo mencabut peraturan daerah yang menyekat pembangunan rumah ibadah. Permintaan itu masuk dalam tujuh sikap Komat Tolikara.


Sekian.

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails