Saturday, July 25, 2015

Serangan Pengganas Kristian Atas Jamaah Solat Aidilfitri, Bakar Kedai & Masjid Di Papua.

Kisah mula "Gereja Islam" di TolikaraSisa papan nama Masjid Baitul Muttaqin yang rata dengan tanah dibakar oleh pengganas Kristian di Karubaga Kabupaten Tolikara, Papua, semasa kaum Muslimin solat Idul Fitri 1436 H, Jumaat (17/7/2015).  Tindakan ini diotaki oleh Ketua Gereja Evangelical di Indonesia (Gídí Tolitora Pdt. Nayus Wenea, S.Th dan Setiausaha Marthen Jingga, S.Th; MA.

TOLIKARA, Papua: -Pasti ramai daripada kita tidak mengetahui asal mula Masjid Baitul Muttaqin yang hangus dilalap api pada tragedi Idul Fitri berdarah di Tolikara, Papua itu boleh berdiri. 

Padahal, gereja selain aliran Gereja Injili Di Indonesia (Gídí) seperti Katolik, Protestan, Advent, Pantekostan dan lain-lain, 'haram' berdiri di Tolikara.
Ustadz Ali Mukhtar, selaku imam Masjid Baitul Muttaqin mengisahkan kepada Panjimas, Khamis (23/7/2015), bahawa dahulu sekitar tahun 1989 Masjid itu mulai dirintis dan didirikan di atas tanah yang diberikan oleh seorang kepala suku.

"Ada anaknya kepala suku namanya Karmin Yekua, itu pernah cerita sama saya. Waktu itu saya tanya, awal mulanya kok boleh kepala suku ngasih tempat ibadah kepada saudara-saudara Muslim? "Kata Ustadz Ali Mukhtar di tempat pengungsian, di Komplek dinas Kormil Karubaga, pada Rabu (22/7/2015).

Menurut Ustaz Ali, melakukan pembebasan tanah di Tolikara, apalagi untuk didirikan Masjid sangat mustahil terjadi.

"Tahu sendiri, masalah pembebasan tanah itu agak susah di sini, kerana tidak ada sijil," tambahnya.

Ustadz Ali melanjutkan, kepala suku di Tolikara memberikan sebidang tanah untuk dibangun Masjid kerana rasa hormat mereka kepada para guru Muslim yang mengajar di Tolikara.

"Guru-guru waktu itu solat, dia ruku, terus sujud. Kepala suku ini lalu bertanya, 'eee .. bapak guru, saya bingung, kita cari doktor saja, mungkin pak guru tidak enak badan kah?' Lalu pak guru itu menjawab, eee ... bapak, kami ini sedang sembahyang, ajaran agama kami ini adalah ibadah, "kata Ustadz Ali diiringi gelak tawa.

Perlu diketahui, penduduk asli Papua sangat menghormati guru, doktor dan warga negara asing (bule). Alasannya mudah, kerana guru yang mendidik anak-anak mereka menjadi pintar, setelah keadaan mereka sebelumnya yang primitif. 


Sementara doktor selama ini yang merawat mereka jika sakit. Adapun hormat mereka pada orang bule, kerana dianggap sebagai pengabar Injil. Pendek cerita, didirikanlah rumah ibadah pertama kali di Tolikara dengan saiz agak kecil dan diberi cat hitam. Tujuan diberi cat hitam bukan hijau sebagaimana warna kesukaan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, demi menyesuaikan diri dengan warga tempatan sekitar.

"Hari demi hari, umat Islam di sini ingin solat. Lalu bikin (bilik, red) saiz 5 x 5, tiang-tiangnya ada, cuma kotak begitu saja, catnya hitam. Rumah-rumah mubaligh dan orang-orang papua begitu, catnya hitam, "tuturnya.

Uniknya, dengan semangat toleransi yang sangat tinggi dari umat Islam di Tolikara, pada awal-awal berdiri, mereka rela tak menyebut rumah ibadah itu sebagai mushalla atau Masjid, namun disebut sebagai gereja Islam.

"Kalau orang tanya Masjid, putra derah (warga tempatan asli Papua, red.) Itu tidak tahu, mereka tahunya gereja Islam," tuturnya.

Tak hanya itu, para tokoh agama Islam di sana pun disebut sebagai gembala Islam.

"Sama saya memanggilnya gembala Islam," tambahnya.

Bagi warga Muslim yang umumnya pendatang dari luar Papua, penyebutan itu bukanlah halangan bagi mereka. Memandangkan di Tolikara Kristian sangat mendominasi, khususnya Gídí.

"Yang penting kita di sini boleh menempatkan diri. Misi kita di sini rahmatan lil 'alamin, harus bermanfaat bagi lingkungan sekitar, "ujarnya.

Setelah bertahun-tahun hidup berdampingan, akhirnya rumah ibadah itu menjadi mushalla dan diberi nama Baitul Muttaqin yang artinya rumah orang-orang bertakwa. Subhanallah, nama yang indah, sesuai dengan mental para pendatang yang begitu tegar memegang teguh agama Islam, di tengah arus deras penyebaran Kristian dan kerasnya perangai / watak warga asli Papua.

Para tokoh sempat meminta izin kepada warga tempatan asli Papua untuk merubah nama mushalla menjadi Masjid Baitul Muttaqin. Namun hal itu ditolak dari warga tempatan. Jangankan membuat kubah atau membina menara Masjid, memasang plang yang menunjukkan arah lokasi tempat ibadah juga dilarang. 

Akhirnya mereka hanya memasang plang Masjid Baitul Muttaqin di dalam. Warga Muslim pendatang mau tak mau harus menerima sikap warga tempatan, walaupun hal itu jika dipanda dari sisi Hak Asasi Manusia (HAM) sangat intoleran.

Meski hanya mushalla, namun kegiatan ibadah di tempat tersebut sudah cukup baik, dari mula solat Jumaat hingga solat Aidil Fitri telah berlangsung belasan tahun. Sampai akhirnya, warga Muslim dikejutkan dengan surat edaran yang berisi pelarangan jilbab dan solat Aidil Fitri yang dikeluarkan Gídí. 

Mereka tak menyangka, warga Muslim yang selama ini hidup rukun dengan Kristian, tiba-tiba terusik dengan sikap sombong, provokatif dan melanggar hak asasi manusia tersebut. Sehingga kemuncaknya, meletuslah tragedi penyerangan jamaah solat Aidil Fitri dan disusuli pembakaran kedai-kedai yang melarat membakar Masjid. (IH/ arrahmah.com)

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails