Tuesday, August 04, 2015

Turki, Erdogen Dan Inspirasi Bagi Indonesia.

Erdogan bersama penulis (Agastya Harjunadhi)
 Erdogen bersama penulis (Agastya Harjunadhi)

Oleh Agastya Harjunadhi 
Indonesia.
 
BERTEMU dan berfoto bareng Presiden Turki, Erdogan, adalah hal yang di luar dugaan saya sama sekali. Dan justru pertemuan itu terjadi di Indonesia, pekan lalu (Sabtu, 01/08/2015). Tak bisa saya ungkapkan rasa kebahagiaan ini seperti apa. Mungkin ini yang diibaratkan ‘nyes’nya seorang pengagum bertemu langsung dengan yang dia kagumi.

Bukan tanpa alasan saya mengagumi Erdogan. Hal ini berawal ketika saya mulai tertarik dengan dunia kepemimpinan dan segala hal yang berhubungan dengan itu tahun 2006. Saya mulai memperhatikan setiap pemimpin kontemporer di dunia. Tentu saja tak lupa dengan Indonesia, yang pernah melahirkan pemimpin besar sekaliber Soekarno yang diakui dunia sebagai orator ulung.

Lalu mempelajari kembali sejarah dalam berbagai sudut pandang ternyata saya menemukan sosok yang menurut saya hebat dan patut dijadikan teladan adalah HOS. Cokroaminoto, dan sosok-sosok hebat lain era sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Buku-buku tentang kepemimpinan dan pemimpin-pemimpin besar lain di Indonesia dan dunia mulai memenuhi agenda baca saya.

Bahkan kerap saya baca beberapa tokoh dan karya-karyanya, meski tokoh tersebut bukan presiden. Bung Hatta, Muhammad Natsir, Buya Hamka, dll. Menurut saya, selain harus cerdas, pemimpin adalah pelaku perubahan dengan kekuatan ilmu, dan lebih beruntung lagi jika ia juga memegang kekuatan kekuasaan.
 
Erdogan, saya mengenalnya dari media sejak 2010. Ketika itu ia sudah menjadi Perdana Menteri Turki periode ke dua. Ia adalah pimpinan Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan). Pada tahun 2010, Erdogan terpilih sebagai muslim 2 paling berpengaruh di dunia (sumber: [www.rissc.jo] The 500 Most Influential Muslims 2010] )
 
Saya mulai menaruh perhatian yang cukup mendalam kepada beliau ini. Majalah TIME New York menobatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh tahun 2011. TIME memuat beliau dengan judul Turkey’s pro-islamic Leader has built his (secular, democracy, and western friendly).
Pemimpin Turkey yang pro-Islam, ini telah sukses membangun negaranya sebagai negara adi daya. Banyak yang berharap ia menjadi teladan bagi pemimpin negara Arab lainnya,” tulis Times.
 
Dari sana saya semakin tertarik dan antusias dalam mengikuti perkembangan kepemimpinannya. Turki yang dahulu adalah Negara paling sekuler di dunia dengan julukan “The Sick Man of Europe” karena berbagai gejolak ketidakstabilan politik, ekonomi, dan lainnya secara sunyi telah mampu ia ubah menjadi Negara adidaya yang stabil, mendunia dan sehat.

Rakyat Turki pun sangat mendukungnya dan mencintainya. GDP Turki saat ini telah mampu menyaingi Jerman dan perkembangan perekonomian Turki melesat menjadi peringkat 17 dari 20 negara yang memiliki kekuatan ekonomi terkuat (G-20) di dunia. Bahkan menurut kabarnya kini telah naik menjadi peringkat ke-5. Erdogan telah berhasil membangun Turki dalam kurun waktu dua periode kepemimpinannya sebagai perdana menteri dengan sangat fantastis.
 
Erdogan juga terkenal dengan kepemimpinannya yang militant, keras serta tegas terhadap penindasan. Beberapa kali forum dunia telah ia gemparkan dengan pernyataan-pernyataannya yang menyudutkan Israel dan gerakan Zionismenya yang terus menerus melakukan penjajahan, penindasan dan pembunuhan di bumi Palestina.

Erdogan juga sangat tidak suka dengan stigma terorisme yang diberikan kepada dunia Islam padahal umat Islam justru selalu menjadi korban. Erdogan sangat peduli dengan kemanusiaan. Ketegasannya dalam prinsip dan identitas yang kuat ini membuatnya disegani oleh lawan dan kawan. Sejak saat itulah, ada kekuatan yang mendorong saya untuk bersemangat bertemu beliau.

Ada dorongan dan keinginan besar untuk sekedar bersalaman, dan berdekapan dengan beliau entah bagaimana caranya. Padahal, saya mendapat kesempatan ke Turki sebanyak tiga kali dan bahkan sempat menjadi official guest dari AK Parti pada tahun 2014 lalu. Tapi belum kesampaian untuk bertemu.
Namun tak disangka bahwa kunjungan Erdogan ke Indonesia kali pertama sebagai presiden ini justru membawa cerita lain.

Dengan izin Allah, alhamdulillah saya berhasil menemui beliau sesaat sebelum berangkat menuju Pakistan. Dalam kesempatan emas itu saya menyalami beliau dan lirih ucapan saya sampaikan “Thank you for coming, Indonesia needs leader like you Mr”. Dengan penuh hangat dan senyuman yang berkharisma menyambut jabat tangan saya beliau menjawab “Thank you” dengan sedikit mendekap dan berfoto bersama-sama.
 
Ya, bertemu dengan seseorang yang paling disegani dan berpengaruh di dunia apalagi ia seorang muslim yang taat (Islamic leader) adalah kado terindah bagi saya. Dan tidak hanya saya, Erdogan adalah kabar gembira bagi umat Islam seluruh dunia. Ust Yusuf Mansur, Pak Syafie Antonio, segenap pimpinan DPR dan bahkan BJ Habibie sangat gembira menyambut kedatangan dan silaturahim dengan beliau.

Wajah suasana silaturahim penuh dengan senyum kebahagiaan dan kebaikan. Inilah bukti al-arwah junnudum mujannadah. Bahwa ruh-ruh itu berserikat (dahulu ketika di alam ruh) – dan di dunia mereka akan saling mengenal satu sama lain ditandai dengan mudahnya berserikat, berbahagia dalam sapa saling bertatap muka. Tak berlebihan pula bahwa ialah sosok pemimpin seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw dalam hadits riwayat muslim, yakni pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya dan mencintai rakyatnya.

Pemimpin yang selalu inginkan kebaikan dan berdoa kepada rakyatnya tentang kebaikan, dan begitu pula rakyatnya yang mendoakan kebaikan kepada nya…
 
Sedikit ulasan lebih dalam tentang AKP dan Erdogan.

 
AK Parti Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP, atau Partai Keadilan dan Pembangunan) adalah sebuah partai berhaluan kanan (nilai Islam) yang ikut dalam kontestasi perpolitikan sejak didirikan oleh Recep Tayyib Erdogan pada tahun 2001. Prioritas utama AKP adalah pembangunan ekonomi dan pelayanan terhadap rakyat Turki.
 
Saya dapatkan dari Buku ERDOGAN, karya Syarif Tagihan bahwa para penulis dan pengamat politik dunia banyak yang menyematkan fenomena Presiden Turki ini dengan banyak pemimpin dalam sejarah. Dengan berbagai capaian gemilang dalam kepemimpinannya, mereka berusaha membandingkan kondisi Erdogan dengan para tokoh dalam sejarah. Di antaranya ada yang menyamakan dengan Sultan Abdul Hamid II (Sultan terakhir Imperium Turki Utsmani terakhir), ada pula yang menyamakan dengan Gamal Abdul Naser.

Ada yang lebih jauh lagi masuk ke dalam sejarah menyamakan dengan Sultan Muhammad Al-Fatih dan Shalahuddin Al Ayyubi. Namun menurut Syarif Taghnan, fenomena Erdogan telah melampaui tinjauan politik hingga sejarah. Ia tidak bisa dipahami dari sisi filsafat sejarah. Kecuali hanya sekadar evaluasi sejarah yang diperdebatkan atas pertentangan antara Turki di masa Dinasti Ottoman dan Turki di masa Attaturk. Di sini kita melihat seolah-olah Turki kembali ke masa lalu, namun berbeda apabila ditinjau dari macam dan jenisnya.

Turki di masa Erdogan atau bisa kita sebut juga dengan Turki ketiga, menurut saya sangat menghargai sejarah bangsa Turki dan mampu menempatkan sosok Ataturk dan Kejayaan Turki Utsmani pada porsi yang sangat tepat dan cantik. Erdogan mampu dan berusaha mengambil memadukan segala nilai positif, manfaat dan nilai-nilai penting dari dua masa yang saling bertentangan yakni Masa Turki Attaturk dan Turki Utsmani.

Segala sesuatu yang bertentangan, yang terlihat di dua masa sebelumnya yaitu Attaturk dan Utsmani, semuanya bisa dilihat saat ini; Turki di masa Erdogan yang telah terintegrasi, moderat setelah sebelumnya ekstrim. Menurut saya, Turki saat ini jauh lebih islami, dan penuh hikmah dalam roda kepemimpinan Erdogan. Dalam bahasa komunikasi politik, penuh hikmah mungkin bisa diartikan adalah moderat. Tengah-tengah, washatan.
 
Taghnan juga memiliki penilaian yang sama. Menurutnya dalam buku ERDOGAN itu, Turki saat ini juga termasuk kategori Barat Eropa, tapi moderat. Ia termasuk Timur namun moderat. Turki Islami, tapi moderat. Erdogan mengetahui (dan inilah bentuk kecerdasannya dalam hal politik, dari sisi taktik dan strategi) bagaimana melepaskan bendera-bendera dan senjata dari tangan militer dan kaki tangannya di partai-partai dan basis politik.
 
Terhadap masyarakat Turki, Erdogan tampil sebagai sosok pemimpin yang reformis, dan revolusioner dengan program-programnya yang manfaatnya sangat dirasakan oleh rakyat. Setidaknya saya pernah juga ikut merasakan iklim dan suasana Turki yang cenderung lebih peduli akan kebersihan, kedisiplinan, dan penghargaan terhadap sejarah. Sistem pelayanan publik yang prima, dan pendidikan yang juga menjadi sektor penting yang sangat diperhatikan oleh pemerintah Turki. Geliat pendidikan dengan basis al quran begitu terasa. Saya pernah mengunjungi salah satu pesantren yang cabangnya juga berada di beberapa kota di Indonesia, yakni Pesantren.
 
Turki tidak pernah mengalami perubahan signifikan dalam garis politik dan sosial, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Erdogan ini sejak masa Mustafa Kamal Attaturk. Orang-orang Turki menganggap bahwa sejak Attaturk, mereka tidak melihat pemimpin pencipta perubahan selain Erdogan. Bahkan yang lainnya menambahkan bahwa Erdogan mampu menumbangkan “berhala Attaturk” yang disucikan dan dijaga oleh militer tanpa menembakkan satu peluru pun.

Oleh karena itu para pakar menyebutkan bahwa tak diragukan lagi ini adalah momen lahirnya Republik Turki generasi kedua, republik yang islami. Inilah arti perkataan Erdogan ketika masih menjabat sebagai perdana menteri.

“Turki telah menjadi laksana pesawat terbang yang akan take off dan di depannya tidak ada yang menghalanginya”.

Ini adalah babak baru Turki yang tak bisa dihentikan oleh siapa pun. Republik Turki kini yang dipimpin oleh Presiden Erdogan merupakan republic yang masih sangat muda namun dengan pondasi dan tubuh sangat sehat. Republik Turki baru, sejak ditandatanganinya referendum penetapan undang-undang pada tanggal 12 September 2010 di tangan AKP dan pemimpin rakyat Turki satu-satunya setelah Attaturk, sebuah kepemimpinan yang dibuktikan empat fakta pemilihan; parlemen; daerah; dua referendum (pertama referendum tentang kepresidenan dan kedua referendum tentang undang-undang).
 
Turki di masa Erdogan pantas mendapat nobel perdamaian di dua tahun terakhir. Banyak kemajuan bidang politik, maupun ekonomi yang diraih. Di sisi politik dalam negeri, Turki Erdogan berhasil membangun ekonomi yang merakyat dan kuat dengan perencanaan yang matang. Sedangkan politik luar negerinya Turki Erdogan berhasil menutup lembaran permusuhan bersejarah dengan Armenia. Demikian pula kepergiannya ke Irak untuk membuat sebuah jembatan mempermudah hubungan dengan tetangganya yang sedang kacau di selatan. Dan juga Negara-negara lain untuk memperluas kerjasama ekonomi, politik dan keamanan.
 
Dalam hal ini, yang penting bahwa Turki di masa Erdogan dan kepemimpinan partai penguasa yakni AKP, telah mengemban tanggunjawab kebangsaan dan Negara, kepatuhan terhadap undang-undang disertai dengan ruh jiwa Islam dan moral di depan kemanusiaan dari segala permasalahannya. “Sultan Turki Era Modern” dan AKP ini mampu memainkan soft approach dengan tetap tegas tanpa kompromi. Turki yang dulu mengemis ke dunia internasional khususnya ke Uni Eropa kini telah menjadi harapan baru. Kini justru Uni Eropa berharap Turki untuk bergabung karena perannya yang sangat strategis.
 
Inilah Erdogan dan inspirasi bagi Indonesia. Pemimpin negeri yang dahulu pernah berdiri kekuasaan Romawi Timur yang menjadi tolok ukur peradaban dunia, dengan Konstantin ibukotanya yang dijuluki The City of Heaven kemudian takluk pada kesultanan Islam oleh Muhammad Al-Fatih era Ottoman dan ia (Erdogan) sangat ingin mengembalikan kejayaan Turki masa itu. Erdogan yang sangat peduli dengan kemanusiaan yang dalam pidatonya di Istana Negara menyatakan kesediaannya menjadi anggota ASEAN jika perlu, dalam membantu menyelesaikan krisis di Rohingya dan melawan Islamophobia yang merebak di Indonesia.
 
Dalam segala konteks, Indonesia sangat mampu dan patut meneladani Turki. Indonesia yang juga terletak pada geografis yang strategis sebagaimana Turki. Indonesia juga memiliki sejarah yang tak kalah hebatnya. Jika Turki memiliki Kesultanan Utsmani, Indonesia pernah berjaya kerajaan-kerajaan di bawah pemimpin-pemimpin besar masa lalu seperti Kesultanan Demak, Kesultanan Samudra Pasai Aceh, Kesultanan Ternate-Tidore, Kesultanan di Tanah Bugis, Mataram, dan sosok yang paling mengenang pemimpin besar bangsa ini sebelum era 1900 adalah Pahlawan Diponegoro. Jika Turki memiliki banyak ulama seperti Said Nursi Badiuzzaman dengan tafsirnya Risalah An Nuur, Indonesia juga memiliki segudang ulama yang salah satunya adalah Buya Hamka dengan Tafsir Al-Azharnya.
 
Tentu semangat untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia selalu ada dalam dada kita. Inspirasi dari Turki, Negara yang sangat sekuler dengan sebutan The Sick Man kini menjadi Negara yang maju dan sehat, pantas dijadikan role model kebangkitan dan kejayaan Indonesia dalam menyongsong kemerdekaan yang ke-70 tahun ini. Semoga dari rahim Ibu pertiwi, lahir pemimpin yang seperti Erdogan. Pemimpin yang kuat, amanah, yang tak larut pada dunia dan kekuasaan yang dibuktikan dengan kuatnya memegang identitas dan prinsip. Pemimpin yang dicintai rakyat, dan mencintai rakyatnya, saling mendoakan dalam kebaikan dan bahu-membahu semangat membangun bangsanya. Pemimpin yang penuh inspirasi.
(agastya/dakwatuna)

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails