LARANGAN ini, iaitu bernyanyi, menari atau berjoget adalah amat penting sebagai benteng ketahanan dari proses cuci otak oleh puak-puak jahat Yahudi antarabangsa, termasuk Freemason atau yang sekandang dengannya.
Kita pilih tulisan perbincangan Ustadzrofii, Indonesia untuk diambil manfaat bersama..
LARANGAN BERNYANYI (BERMUSIK) DAN BERJOGET
Oleh : Ust. Achmad Rofi’i, Lc. (Siri 1)
بسم الله الرحمن الرحيم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Adalah suatu kelemahan dan kejahiilan (kebodohan dalam perkara dien), yang umum terjadi di kalangan ummat Islam, khususnya ummat Islam Indonesia; walaupun mereka menganut dienul Islam dan mengaku sebagai pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, tetapi sayangnya dalam prakteknya mereka itu melakukan ibadah dan mu’aamalah berdasarkan tradisi nenek moyang dan kebiasaan masyarakat kebanyakan, bukannya berdasarkan ‘ilmu dien.
Demikian pula dalam kehidupan keseharian di bidang kesenian dan kebudayaan, mereka mengadopsi kesenian dan kebudayaan tanpa melihat apakah itu sesuai dengan syari’at Islam ataukah tidak. Oleh karena itu, semoga dengan kajian kali ini yang membahas mengenai perkara Bernyanyi dan Berjoget (Al Ghinaa’u War Roqshu), dapat memberikan perubahan bagi kaum muslimin agar mereka dapat kaaffah di bidang kesenian dan kebudayaan.
Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi
Bahasan kali ini diantaranya kita ambilkan dari Kitab yang ditulis oleh Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, masih berkenaan dengan masalah perintah untuk ber-Ittiba’ (mengikuti Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم) dan larangan berbuat perkara yang Bid’ah. Dalam kaitan ini, beliau memberikan suatu contoh kepada kita, yang sangat perlu kita ketahui; karena justru kaum Muslimin kebanyakan menggampangkan perkara ini.
Menganggap perkara ini halal, dan menganggap biasa perkara ini. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai bagian dari Al Islaam. Padahal justru perkara ini adalah hal yang dilarang oleh Allooh سبحانه وتعالى, karena bermaknaTasyabbuh (meniru) orang-orang yang kaafir dan faasiq.
Perkara yang akan kami sampaikan adalah berkenaan dengan masalah yang didalam Kitab Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diberi judul “Al Ghinaa’u War Roqshu” (Tentang Bernyanyi dan Berjoget).
Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله memaparkan hal ini didalam Kitabnya, bahkan sampai beberapa halaman, yakni dari halaman 99 sampai dengan 113, yang penuh dengan daliil-daliil yang akan kita bahas sebagiannya kali ini. Daliil-daliil tersebut terdiri dari Al Qur’an, Hadits-Hadits Shohiih Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan Pendapat para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah yang mu’tabar.
Mudah-mudahan setelah kami paparkan keterangan Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله ini, kita sebagai kaum Muslimin menjadi sadar, mengetahui dengan jelas, serta menjadi tidak mau untuk melakukan perkara yang sesungguhnya oleh Syar’i diharomkan.
Kami sampaikan beberapa perkataan dari beliau, Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, mengingat beliau رحمه الله adalah Imaam daripada para Imaam Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah, terutama yang bermadzab Syaafi’i (Syaafi’iyyun), sehingga beliau رحمه الله adalah ‘Ulama yang sangat dekat di hati orang-orang Indonesia.
Kata beliau, Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله,
“Bahwa diantara jenis-jenis Bid’ah yang buruk itu ada dua, yaitu:
- Berkenaan dengan ‘Aqidah, yang menyampaikan seseorang kepada kesesatan dan kerugian,
- Perkara-perkara yang termasuk Bid’ah yang bersifat ‘Amaliyyah.
Diantara perkara-perkara tersebut, yaitu ‘Amaliyyah yang dilakukan oleh kaum Muslimin, padahal itu adalah termasuk Bid’ah yang buruk adalah apa yang diada-adakan berkenaan dengan mendengarkan Al Ghinaa (Nyanyian), War Roqshi (dan Berjoget), Wal Wujdi(dan kepuasan dengannya).”
Kata beliau رحمه الله, “Orang yang melakukan perkara tersebut (menyanyi, mendengarkan musik, berjoget) adalah jatuh muruu’ah-nya.”
Yang dimaksud muruu’ah adalah adab atau etika yang ada pada diri orang tersebut itu lah yang jatuh. Berarti, orang tersebut tidak lagi tergolong punya etika. Sehingga orang tersebut, persaksiannya ditolak.
Jadi orang yang suka menyanyi (— dimana nyanyian yang didendangkannya itu tak jarang mengandung perkataan yang menyalahi dien/agama —), mendengarkan musik (— permainan alat-alat musik yang melalaikan —) dan berjoget, didalam Islam itu adalah semestinya tidak boleh menjadi saksi, karena ia telah tergolong orang yang berma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan berma’shiyat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dan itu adalah perbuatan yang mahdzuur (melanggar), yang Harom.
Kata beliau رحمه الله, “Orang yang melakukan perkara tersebut (menyanyi, mendengarkan musik, berjoget) adalah jatuh muruu’ah-nya.”
Yang dimaksud muruu’ah adalah adab atau etika yang ada pada diri orang tersebut itu lah yang jatuh. Berarti, orang tersebut tidak lagi tergolong punya etika. Sehingga orang tersebut, persaksiannya ditolak.
Jadi orang yang suka menyanyi (— dimana nyanyian yang didendangkannya itu tak jarang mengandung perkataan yang menyalahi dien/agama —), mendengarkan musik (— permainan alat-alat musik yang melalaikan —) dan berjoget, didalam Islam itu adalah semestinya tidak boleh menjadi saksi, karena ia telah tergolong orang yang berma’shiyat kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan berma’shiyat kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dan itu adalah perbuatan yang mahdzuur (melanggar), yang Harom.
Perhatikanlah firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Luqman (31) ayat 6:
QS. Luqman (31) ayat 6:
QS. Luqman (31) ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Artinya:
- “Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allooh tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allooh itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.”
Sedangkan perkataan “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ), menurut perkataan Shohabat ‘Abdullooh bin Mas’uud رضي الله عنه, dan para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalangan Taabi’iinseperti ‘Ikrimah, Mujaahid, Al Hasan Al Bashri, Sa’iid bin Zubaiir, Qotaadah Ibnu Da’aamah As Saduusi, Ibroohiim An Nakho’i رحمهم الله; mereka semua sepakat menafsirkan kata “Lahwal Hadiitsi” (لَهْوَ الْحَدِيثِ) sebagai Al Ghinaa (Nyanyian, Bernyanyi).
Sementara itu Al-Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله dalam Kitab Fathul Baari (10/55) mengatakan, “Dikutip dari Al-Qurthubi dari ‘Jauhari’ bahwa Musik sama dengan Nyanyian. Ibnu Hajar juga mengatakan, “Istilah ‘Nyanyian’ dapat bermakna Alat Musik dan semua permainan dengan Alat Musik.”
Nyanyian atau Bernyanyi itu, maka yang tersangkut didalamnya adalah beberapa faktor, yaitu si Penyanyi, Alat Musik, Orang yang Berjoget, Orang yang mendengarkan (menikmatinya) dan medianya yakni studio rekaman, radio, TV dan seluruh media yang menebarkan perbuatan tersebut.
Ayat tersebut diakhiri dengan kalimat “Liyyudhilla ‘an sabiilillaah” (لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ), yang maknanya: untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Jadi, ternyata berdasarkan pemahaman para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah (Salaful Ummah), di kalangan Shohabat dan Taabi’iin, mereka mengatakan bahwa: Ada sebagian manusia yang membeli nyanyian dengan harta yang mereka miliki; dimana nyanyian itu madhorotnya jelas sekali yaitu agar menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, yang muridnya antara lain adalah Ikrimah, menterjemahkan “Lahwal Hadiitsi” sebagai “Al Ghinaa’u Wa Asbaahuhu” (الغناء وأسبابه),yaitu: Nyanyian dan yang sejenisnya.
Maksudnya, dari jenis apa saja yang berfungsi untuk menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Ada lagi, dengan sanad yang lain dari Shohabat ‘Abdullooh bin Abbas رضي الله عنه, maksudnya adalah: Al Ghinaa Wanahwuuhu (الغناء ونحوه), yaitu: Nyanyian dan yang sejenis dengannya.
Juga Al Ghinaa Wa Al Istima’ ilaihi (الغناء والاستماع إليه ), yaitu Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian.
Dari Shohabat Jaabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنه, beliau mengatakan bahwa yang dimaksud “Lahwal Hadiitsi” adalah “Al Ghinaa Wal Istima’u Ilaihi”(الغناء والاستماع إليه), yaitu: Nyanyian dan yang mendengarkan nyanyian. Sama dengan penafsiran diatas. Dan beliau رضي الله عنه juga menjelaskannya sebagai Al Ghinaa Wa Kullu Lahwin (الغناء كله لغو ), yaitu Nyanyian dan setiap sesuatu yang melalaikan.
Dan penafsiran lain dari “Lahwal Hadiitsi” menurut ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ahadalah “Al Mughanni Wal Mughanniyah bil Maalil Katsiir Wal Istimaa’u Ilaihi Wa Ilaa Mitslihii Minal Baathil”, artinya: Biduan dan biduanita dengan harta yang banyak dan yang mendengarkannya, dan kepada sejenisnya dari perkara-perkara yang baathil.
Yang tersebut diatas adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah. Sebagian dari perkataan para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yakni ‘Abdullooh bin Mas’uud, ‘Abdullooh bin ‘Abbas, Jaabir bin ‘Abdillaah رضي الله عنهم.
Dan sebagiannya lagi adalah dari perkataan para Taabi’iin yakni Ikrimah, Mujaahid, Al Hasan Al Bashry, Zaid bin zubair, Qotadah dan Ibrohim رضي الله عنهم. Jadi, cukuplah menjadi landasan bagi kita untuk memahami apa yang menjadi Tafsiran Al Qur’an menurut generasi terbaik dari ummat Islam dan generasi yang paling paham terhadap Al Qur’an itu, yakni para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم danTaabi’iin; dimana mereka mengatakan bahwa ayat tersebut maksudnya adalah Nyanyian, Musik dan sejenisnya.
Itulah sesuatu yang harus kita (kaum muslimin di zaman sekarang) ini mengetahui dan menyadarinya. Sedangkan di dalam Kitab Fathul Baari (2/442), Al-Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله mengatakan,
”Yang dinamakan nyanyian dengan meninggikan suara dan berdendang sebagaimana disebut oleh orang Arab dengan nama “An-Nasbu” dan “Al-Hida'”, maka pelakunya tidak dinamakan penyanyi; karena yang dinamakan Penyanyi adalah orang yang bernyanyi dengan dibuat-buat, mendayu-dayu serta berdendang mengundang kerinduan, termasuk di dalamnya ada ajakan kemungkaran, baik secara isyarat atau terang-terangan“.
Dan sebagiannya lagi adalah dari perkataan para Taabi’iin yakni Ikrimah, Mujaahid, Al Hasan Al Bashry, Zaid bin zubair, Qotadah dan Ibrohim رضي الله عنهم. Jadi, cukuplah menjadi landasan bagi kita untuk memahami apa yang menjadi Tafsiran Al Qur’an menurut generasi terbaik dari ummat Islam dan generasi yang paling paham terhadap Al Qur’an itu, yakni para Shohabat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم danTaabi’iin; dimana mereka mengatakan bahwa ayat tersebut maksudnya adalah Nyanyian, Musik dan sejenisnya.
Itulah sesuatu yang harus kita (kaum muslimin di zaman sekarang) ini mengetahui dan menyadarinya. Sedangkan di dalam Kitab Fathul Baari (2/442), Al-Hafiz Ibnu Hajar رحمه الله mengatakan,
”Yang dinamakan nyanyian dengan meninggikan suara dan berdendang sebagaimana disebut oleh orang Arab dengan nama “An-Nasbu” dan “Al-Hida'”, maka pelakunya tidak dinamakan penyanyi; karena yang dinamakan Penyanyi adalah orang yang bernyanyi dengan dibuat-buat, mendayu-dayu serta berdendang mengundang kerinduan, termasuk di dalamnya ada ajakan kemungkaran, baik secara isyarat atau terang-terangan“.
Kedua, Ayat Al Qur’an yang merupakan daliil dari haromnya menyanyi dengan musik, masih menurut Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله, adalah QS. An Najm (53) ayat 61:
QS. An Najm (53) ayat 61:
QS. An Najm (53) ayat 61:
وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Artinya:
- “Sedang kamu melengahkan(nya)”
Menurut penafsiran dari Shohabat ‘Abdullooh bin ‘Abbas رضي الله عنه, beliau menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “saamiduun” (سَامِدُونَ) adalah Al Ghinaa, Nyanyian.
Kalau dari sisi Hadits, maka perkataan beliau tersebut didapati antara lain didalam Kitab Al ‘Aadaabul Mufrood, dalam Kitab Talbiis Ibliis, dalam Kitab Tafsir Ibnu Jariir Ath Thobary, dalam Kitab As Sunnan Al Kubro, dalam Kitab Al Qurthuby, dll. Para ‘UlamaAhlus Sunnah Wal Jamaa’ah menafsirkan perkataan “saamiduun” (sesuatu yang melengahkan) dalam ayat 61 surat An Najm tersebut dengan makna: Nyanyian.
Berikutnya diriwayatkan oleh para ‘Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaa’ah dari kalangan Taabi’iin, diantaranya adalah Mujaahid Ibnu Jabr رضي الله عنه, beliau menjelaskan bahwa apabila orang Yaman mengatakan ungkapan dalam bahasa Arab “saamadaa fulanun”, maka artinya adalahGhana, Nyanyian. Penjelasan-penjelasan tersebut bida kita ambil dari tafsir-tafsir yang ma’tsuursebagaimana telah dijelaskan diatas.
Ketiga, firman Allooh سبحانه وتعالى dalam QS. Al Isroo’ (17) ayat 64:
QS. Al Isroo’ (17) ayat 64:
QS. Al Isroo’ (17) ayat 64:
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلاَّ غُرُوراً
Artinya:
- “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka melainkan tipuan belaka.”
Kata “bishoutika” (بِصَوْتِكَ) dalam ayat tersebut oleh Imaam Mujaahid bin Jabr رضي الله عنه dari kalangan Taabi’iin, ditafsirkan sebagai Al Ghinaa wal Mazamir (nyanyian dan seruling). Dan menurut cerita ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه, kata beliau :
“Pada suatu hari aku bersama Ibnu ‘Umar pada suatu jalan, kemudian terdengarlah suara seruling penggembala, maka ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه meletakkan kedua telunjuknya pada lubang kedua telinganya dan kemudian berpaling (menghindar) dari jalan itu.”
Jadi, ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه segera menutup telinga ketika mendengar suara seruling penggembala dan menghindari suara seruling tersebut. Inilah sikap para ‘Ulama Salafus Shoolihberkenaan dengan Nyanyian dengan Alat Musik.
Selanjutnya ‘Abdullooh bin ‘Umar رضي الله عنه mengatakan, “Aku melihat Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم ketika mendengar suara seruling penggembala, beliau melakukan seperti apa yang aku baru saja lakukan, wahai saudaraku.”
Berikut ini adalah suatu Hadits Shohiih yang diriwayatkan oleh Al Imaam Al Bukhoory dalamShohiihnya no: 5268. Kata beliau dari Shohabat Abu Maalik Al Asy’ary رضي الله عنه, bahwa ia mendengar Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
Sabda Nabi..
Sabda Nabi..
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Artinya:
- “Akan dijadikan halal oleh ummatku emas, sutera, khamr (minuman keras) dan Al Ma’aazif.”
Ibnul Mandzur رحمه الله dalam Kitabnya Lisaanul A’roob menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Al Ma’aazif (jamak dari kata Mi’zaf) adalah Al Malaahi, Malha, yakni sesuatu yang membuat orang lalai.
Termasuk didalamnya adalah alat-alat yang dipukul seperti misalnya: Tambur (genderang), drum, gendang. Duf (rebana), ‘Uud (gitar).
Dalam bahasa Arab, kalau orang mendengar kata ‘Aazif maka artinya adalah Alat Musik dan Penyanyinya.
Al Imaam Ibnu Hajar Al Asqolaany رحمه الله dalam Kitabnya Fathul Baari, yang merupakan penjelas dari Kitab Shohiih Imaam Al Bukhoory, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “Al Ma’aazif” dalam Hadits ini adalah
- Alat-alat Lahwun, yakni sesuatu yang tidak berfaedah dalam pandangan Syar’ie atau dalam pandangan Wahyu.
- Dan dikatakan juga bahwa makna lain dari “Al Ma’aazif” adalah Aswat ‘alaa Malaahi, yaitu suara yang tidak ada faedahnya atau tidak terpuji.
- Makna ketiga, adalah: Duf (rebana) dan selainnya yang dipukul, yang selanjutnyadikenal sebagai Nyanyian.
Kata “Al Ma’aazif” yang kita kenal dalam Hadits tersebut adalah berkaitan dengan sabda Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم:
Sabda Nabi..
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
“Layakununna mi ummati akwaamun yastahillun”.
- (Akan terjadi pada ummatku dimana mereka menghalalkan yang Harom)
“Yastahillun” dalam ilmu Shorof bermakna “Menghalalkan”. Kalimat “Menghalalkan”, bisa dipahami dengan dua perkara:
- Pertama, Meyakini halalnya
- Kedua, Membiasakan dalam hidupnya bahwa seolah-olah itu halal
Jadi pengertian yang dapat dipetik dari Hadits tersebut adalah:
- “Ummatku kelak akan menganggap halal, apakah menganggap halal itu dengan keyakinannya bahwa itu adalah tidak harom, diyakini kehalalannya; ataukah ia tahu bahwa hal itu harom tetapi ia membiasakannya, karena menganggapnya boleh-boleh saja.”
Kedua pemahaman tersebut adalah menyimpang dari yang benar. Bahkan pemahaman pertama adalah sangat keliru dan baathil, karena apabila ada suatu nash yang mengharomkan perkara tersebut, lalu ia menyatakan halalnya, maka berarti ia telah mengubah hukum Allooh سبحانه وتعالى dari harom menjadi halal. Dan itu menyebabkan seseorang terancam menjadi kufur.
Hal ini bukan masalah yang kecil, karena berarti telah melanggar apa-apa yang telah diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Hal ini bukan masalah yang kecil, karena berarti telah melanggar apa-apa yang telah diharomkan oleh Allooh سبحانه وتعالى dan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Dengan demikian jelaslah, bahwa dari 3 ayat Al Qur’an dan 2 Hadits yang Shohiih, telah dijelaskan kepada kita semua bahwa Al Ghinaa, Nyanyian, Musik dan Alat-Alat musiknya itu hukumnya adalah Harom.
Kemudian kembali dijelaskan oleh Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله dengan kata-kata beliau رحمه الله sebagai berikut:
“Jika ini hanya dilakukan oleh orang dengan mendengarkan maka orang itu tidak keluar dari keseimbangan hidupnya, hanyalah sebatas mendengar; namun bagaimanakah halnya jika orang itu mendengar suara orang yang hidup pada zaman ini dengan seruling mereka?”
“Jika ini hanya dilakukan oleh orang dengan mendengarkan maka orang itu tidak keluar dari keseimbangan hidupnya, hanyalah sebatas mendengar; namun bagaimanakah halnya jika orang itu mendengar suara orang yang hidup pada zaman ini dengan seruling mereka?”
Yang dimaksud dengan perkataan “…zaman ini…” dalam penjelasan Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diatas adalah zaman dimana Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله hidup, yakni pada abad ke-9 Hijriyah. Padahal kita sekarang hidup di abad ke-15 Hijriyah. Berarti bila dihitung dengan zaman dimana beliau رحمه الله hidup adalah berselisih sekitar 6 abad atau 600 tahun yang lalu.
Berarti 600 tahun yang lalu Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله telah mengingkari (menentang) Nyanyian dan Musik pada masa beliau hidup. Lalu bagaimana pula dengan kehidupan di zaman kita sekarang ini, dimana kema’shiyatan dalam perkara Nyanyian dan Musik ini sudah sedemikian maraknya dalam berbagai sisi kehidupan masyarakatnya, sehingga dianggap sebagai hal yang lumrah oleh masyarakatnya, dan kema’shiyatan ini pun didukung pula oleh aneka teknologinya, mulai dari Handphone, Televisi, Radio dsbnya?
Apabila Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله membandingkan zaman beliau hidup dengan zaman-zaman sebelumnya, yang dianggapnya Nyanyian dan Musik itu telah menjadi kema’shiyatan yang sangat dahsyat pada zaman beliau رحمه الله hidup, maka bagaimana pula dengan zaman kita hidup sekarang ini?
Oleh karena itu wahai kaum muslimin, hendaknya kita ridho terhadap apa yang telah Allooh سبحانه وتعالى firmankan dan telah disabdakan oleh Rosuullooh صلى الله عليه وسلم, untuk dijadikan sebagai pedoman hidup.
Dan hendaknya kita sadari bahwa Nyanyian dan Musik adalah bukan dari ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, walaupun mereka berkilah dengan menggunakan nama “Musik Islami”, namun sadarilah bahwa itu semua justru bisa menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Manusia dijadikan berpaling dari Al Qur’an (Kalamullooh) dan dijadikan sibuk dengan Nyanyian dan Musik yang melalaikan, bahkan walaupun hal itu ditampakkan indah dalam pandangan manusia dengan penggunaan nama yang menipu seperti “Musik Islami” sekalipun. Bukankah tidak dapat dipungkiri bahwa apabila mendengarkan Nyanyian walaupun disajikan dengan kedok bernama “Musik Islami” sekalipun, maka hati manusia akan lebih terpaut dengan irama Alat Musiknya, dan lalai dari merenungkan makna Kalamullooh (Al Qur’an), lalai dari membahas hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Maka demikianlah, syaithoon menipu manusia, mengajak manusia menjauh dari Al Qur’an. Al Qur’an hanya dijadikan sekedar sebagai suatu nama, tanpa dipahami dan dikaji isinya. Renungkanlah, adakah manusia yang dapat memahami hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى melalui suatu “Musik Islami“?
Dan hendaknya kita sadari bahwa Nyanyian dan Musik adalah bukan dari ajaran Muhammad Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, walaupun mereka berkilah dengan menggunakan nama “Musik Islami”, namun sadarilah bahwa itu semua justru bisa menyesatkan manusia dari jalan Allooh سبحانه وتعالى.
Manusia dijadikan berpaling dari Al Qur’an (Kalamullooh) dan dijadikan sibuk dengan Nyanyian dan Musik yang melalaikan, bahkan walaupun hal itu ditampakkan indah dalam pandangan manusia dengan penggunaan nama yang menipu seperti “Musik Islami” sekalipun. Bukankah tidak dapat dipungkiri bahwa apabila mendengarkan Nyanyian walaupun disajikan dengan kedok bernama “Musik Islami” sekalipun, maka hati manusia akan lebih terpaut dengan irama Alat Musiknya, dan lalai dari merenungkan makna Kalamullooh (Al Qur’an), lalai dari membahas hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى.
Maka demikianlah, syaithoon menipu manusia, mengajak manusia menjauh dari Al Qur’an. Al Qur’an hanya dijadikan sekedar sebagai suatu nama, tanpa dipahami dan dikaji isinya. Renungkanlah, adakah manusia yang dapat memahami hukum-hukum Allooh سبحانه وتعالى melalui suatu “Musik Islami“?
Dan renungkan pula penjelasan Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله diatas bahwa seorang Muslim itu fitroh asalnya semestinya hatinya adalah menjadi tenang dikala ia berdzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى. Namun hal ini bergeser, sehingga mereka malah merasa tidak tenang hidupnya dan tidak seimbang hidupnya dikala ia tidak mendengarkan Musik.
Ia merasa tidak bisa lepas dari Musik/ Permaianan Alat-alat Musik dalam berbagai kegiatan hidupnya sehari-hari. Ia merasa tidak “fresh” bila tidak mendengarkan Musik. Maka perhatikanlah, bahwa jeratan Syaithoon telah berhasil menjaringnya.
Karena Syaithoon berusaha menjauhkan manusia dari dzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan memerangkapnya dengan berbagai perkara yang melalaikan antara lain dengan Nyanyian dan Musik tersebut. Lalu Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله meneruskan dengan penjelasannya sebagai berikut bahwa:
Kalau ada orang-orang yang termasuk biduan (penyanyi) dan biduan itu adalah budak-budak, karena ketika itu adalah zaman Khilafah Islamiyyah, dan ada pemerintahan Islam, maka hukumnya adalah Harom membeli budak yang termasuk seorang biduan. Dan harga jual belinya pun terhukumi Harom.
Ia merasa tidak bisa lepas dari Musik/ Permaianan Alat-alat Musik dalam berbagai kegiatan hidupnya sehari-hari. Ia merasa tidak “fresh” bila tidak mendengarkan Musik. Maka perhatikanlah, bahwa jeratan Syaithoon telah berhasil menjaringnya.
Karena Syaithoon berusaha menjauhkan manusia dari dzikir kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan memerangkapnya dengan berbagai perkara yang melalaikan antara lain dengan Nyanyian dan Musik tersebut. Lalu Al Imaam Jalaaluddin As Suyuuthi رحمه الله meneruskan dengan penjelasannya sebagai berikut bahwa:
Kalau ada orang-orang yang termasuk biduan (penyanyi) dan biduan itu adalah budak-budak, karena ketika itu adalah zaman Khilafah Islamiyyah, dan ada pemerintahan Islam, maka hukumnya adalah Harom membeli budak yang termasuk seorang biduan. Dan harga jual belinya pun terhukumi Harom.
No comments:
Post a Comment