Sunday, November 29, 2009

Syariat Islam Aceh: Larangan Wanita Pakai Seluar Ketat.

Demo Kuntoro: Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam KAMMI menggelar demo ke kantor BRR Aceh-Nias di Lueng Bata, Rabu (26/9). Dalam aksi tersebut mereka meminta Kuntoro untuk mengklarifikasi pernyataannya di sebuah media nasional tentang Syariat Islam di Aceh. [ARF News Photo/Dir]

Oleh Masykur M.Yusuf
Staf KPU Pidie Jaya & alumni IAIN Ar-Raniry

WACANA larangan memakai busana ketat bagi wanita muslim di Aceh Barat yang digagas Bupati setempat semakin menuai kontroversi. Ada yang pro dan tidak sedikit pula yang kontra. Anehnya kaum yang menentang wacana tersebut bukan muncul dari sekelompok non muslim, tetapi malah dari kalangan orang Aceh sendiri yang notabene muslim sejak moyangnya.

Oleh karenanya, beberapa argumen dan perang urat saraf yang dilontarkan oleh pihak yang setuju dan tidak setuju terhadap larangan memakai busana ketat sepertinya semakin menarik untuk dikaji dari berbagai perspektif yang berbeda.

Pertama, sudut pandang konstitusi.

Legalitas sebuah aturan di Indonesia dituangkan dalam produk hukum yang bersifat hirarkis, di mana hukum di tingkat bawah tidak boleh melanggar hukum yang lebih tinggi. Aturan terhadap larangan memakai busana ketat dituangkan dalam qanun atau peraturan lokal yang lain, sehingga ada yang mengklaim bahwa aturan tersebut melanggar konstitusi karena bertentangan dengan hukum nasional. Pendapat semacam ini tanpa sadar telah mengabaikan Aceh sebagai lex specialist yang memiliki kewenangan menerapkan hukum yang berbeda dengan Hukum Nasional sebagaimana kekuatan hukum yang dimiliki oleh qanun khalwat, judi dan maisir yang telah diterapkan selama sejak pemberlakuan Syariat Islam, dan tetap diakui oleh konstitusi serta tidak menimbulkan penafsiran hukum yang kontradiktif.

Bila ditinjau secara lebih jauh, larangan memakai busana ketat bukanlah wacana baru yang ilegal karena aturan tersebut telah lama disahkan dalam Qanun No.11 Tahun 2002 sebagaimana yang termuat dalam pasal 13 ayat 1 dan 2 bahwa: "Setiap orang Islam wajib berbusana islami". Lebih dari itu larangan berbusana ketat malah menyokong implementasi Hukum Nasional yaitu Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang larangan pornografi dan pornoaksi.

Kedua, sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM).

Dalam perspektif ini, orang menganggap bahwa masalah busana adalah ranah privasi yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun, bahkan oleh Tuhan sekalipun. Bagi yang mencoba mendobraknya dianggap telah melakukan pelanggaran HAM. Dalam doktrin ini, ayat-ayat Tuhan terkadang dikalahkan oleh kepentingan HAM yang dibuat berdasarkan pertimbangan akal manusia. Oleh karenanya kita perlu berhati-hati terhadap isu HAM yang dilontarkan dunia barat khususnya kaum orientalis yang berniat melemahkan keyakinan umat Islam terhadap syari'atnya sendiri.

Namun demikian, alasan pelanggaran HAM ternyata belum bisa menjadi pembenaran terhadap penolakan aturan busana muslimah, sebab alasan tersebut belum begitu sesuai dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri, dimana sebuah implementasi hukum tidak dianggap melanggar HAM apabila digagas dan dilahirkan dalam sebuah Qanun melalui proses panjang yang disepakati bersama serta melibatkan berbagai elemen masyarakat termasuk ulama, LSM, akademisi, eksekutif dan legislatif. Jika tidak, tentu saja dunia ini akan berserak dengan berbagai Undang-undang yang melanggar HAM hanya karena ada yang merasa terganggu dengan penerapan hukum tersebut.

Padahal bukan hanya Aceh atau Islam yang mengatur ranah privasi seseorang, bahkan beberapa agama dan Negara juga mengatur hal yang sama, misalnya larangan merokok, memakai shabu-shabu, mengenderai sambil mabuk, larangan pornografi dan pornoaksi, dan sebagainya, lalu apakah semua larangan tersebut juga melanggar HAM?

Ketiga, prinsip demokrasi.

Demokrasi saat ini masih saja tampil sebagai pemenang demi melegalkan kepentingan manusia dan mengingkari perintah Tuhan. Namanya demokrasi, seseorang bebas menentukan pilihannya untuk memakai busana muslim atau tidak. Namun pandangan logis lebih setuju bahwa anda tidak pernah bebas saat masuk dalam komunitas tertentu seperti agama, negara, organisasi dan sebagainya. Selalu ada aturan mengikat yang mengatur kehidupan pribadi anda. Jika anda berada dalam komunitas agama Islam, maka sepantasnyalah Al Quran, Hadits, Ijma', Qiyas dan Syari'at Islam berhak untuk memberikan peringatan baik-buruk terhadap busana ketat bahkan membuat aturan dan sanksi semata-mata karena rasa kasihan dan kepedulian terhadap saudara seiman.

Syari'at Islam tidak mungkin dilaksanakan secara kaffah dalam sistem yang bernama demokrasi. Karena hakikat demokrasi ini adalah suara terbanyak tak peduli halal dan haram. Jadi kalau mayoritas bilang jilbab haram, maka sah saja negara menyetujui jilbab haram. Begitu sebaliknya, bila pelacuran dikatakan halal karena ada maslahat di sana yaitu pajak bagi negara, maka demokrasi pun mengesahkannya. Lalu bagaimana dengan larangan busana ketat, apakah kita perlu melakukan voting suara demi menghormati 'tuhan' demokrasi? Tentu saja tidak, karena Syari'at Islam tidak bisa sempurna penerapannya dalam sistem kufur bernama demokrasi. Syari'ah hanya bisa tegak dalam sebuah sistem yang memang sudah ada tuntunannya dalam Islam yaitu Khilafah Islamiyah.

Keempat, prinsip utilitas.

Larangan busana ketat dianggap sebagai hal yang tidak perlu diatur secara serius, selain memboroskan waktu juga tidak berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Pandangan ini bertolak belakang dengan manfaat yang dijanjikan Allah dalam Al Quran bahwa Allah akan memberikan kemakmuran terhadap bangsa yang taat, mengeluarkan rezeki dari bumi dan menurunkan rezeki dari langit. Di samping itu busana menunjukkan pribadi seseorang yang memiliki jati diri yang kuat, budaya berbusana ketat juga menunjukkan moralitas suatu bangsa.

Membiarkan masyarakat terpuruk dalam krisis moralitas yang berkepanjangan merupakan sikap yang tidak bisa dibenarkan oleh agama dan negara. Biar pun kenyataannya sebagian orang yang berbusana muslim belum tentu berprilaku baik, namun tidak berarti kita harus menyalahkan busananya, namun yang patut kita persalahkan adalah perbuatannya.

Kelima, konflik kepentingan.

Hanya demi menyelamatkan kepentingan pribadi atau golongan, seseorang mencoba menghalalkan segala cara untuk menentang larangan busana ketat. Para pedagang yang sering memperoleh omset besar dari hasil penjualan Pakaian Jeans tentu merasa terancam kehilangan langganan jika mereka dipaksa berhenti. Perasaan risih juga menghantui para agen, pimpinan dan karyawan industri pakaian ketat yang bakalan sulit memasarkan produknya ke Aceh lantaran harus berhadapan dengan konsekuensi hukum. Bahkan Pemerintah Pusat sendiri tidak mau ambil risiko dengan berkurangnya pendapatan negara yang bersumber dari bisnis pakaian setan.

Maka wajar saja jika Menteri Dalam Negeri melarang daerah lain untuk meniru apa yang dilakukan Bupati Aceh Barat. Sama halnya dengan beberapa LSM lokal yang selama ini gencar menentang Syari'at Islam, terutama mereka yang memperoleh kucuran dana dari pihak asing anti syari'at (orientalis). Mereka merasa gagal jika tidak mampu memperjuangkan aspirasi tuannya, bisa-bisa bantuan dana tidak lagi mengalir dengan lancar. Yang lebih riskan jika kontrak kerjasama bahkan diputuskan secara total.

Maka sangat masuk akal saat sebuah aturan Tuhan dipaksakan, merupakan sesuatu yang lazim jika konflik kepentingan pun tak bisa dielakkan. Hal ini sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya terhadap penegakan Syariat Islam di bumi Serambi Mekah biarpun jabatan atau nyawa sebagai taruhannya, ketimbang mempertaruhkan syurga yang dijanjikan Allah terhadap orang-orang yang menegakkan syari'at-Nya.

Jika kita ingin jujur, perintah berbusana muslim sebenarnya memiliki manfaat yang sangat besar dalam tatanan kehidupan agama, sosial, budaya dan kesehatan, yaitu:

(a) sebagai nilai indentitas seorang muslim sejati yang mudah dikenali;

(b) seorang muslimah tidak diganggu oleh pria jahat karena busana muslimah tidak merangsang syahwat laki-laki untuk berbuat maksiat seperti berzina, memperkosa, berkhalwat, onani dan sebagainya;

(c) terciptanya perilaku masyarakat desa dan kota yang sopan, ramah lingkungan, menghargai orang lain dan tidak mengganggu kepentingan umum. Di beberapa negara Eropa non muslim kehidupan domestik/privat dipisahkan secara tegas dari kehidupan publik, negara melarang masyarakatnya melakukan ciuman di tempat umum karena dianggap mengganggu emosi orang lain. Bercermin dari aturan negara lain, maka sudah sepantasnya kalau praktik-praktik seperti berbusana ketat hanya boleh dilakukan pada ranah privat;

(d) mengangkat harkat dan martabat kaum wanita yang tidak lagi berpenampilan seksi sehingga mereka tidak lagi terkesan sebagai objek seks yang tidak patut dihargai, malah sebaliknya kemolekan tubuhnya dimanfaatkan untuk tujuan komersil, cuci mata, imajinasi dan sejenisnya;

(e) pakaian ketat berbahaya bagi kesehatan. Menurut dr Ryan Thamrin, ahli kandungan dan konsultan seks, penggunaan celana jeans ketat pada wanita kerap menimbulkan jamur, keputihan, ataupun gatal-gatal pada bagian vital. Ini disebabkan timbunan keringat yang ada di daerah itu tidak bisa keluar dengan baik dan cenderung menumpuk. Sedangkan menurut hasil kajian sebuah lembaga penelitian di Indonesia soal kualitas sperma pria yang kerap menggunakan celana ketat, hasilnya sangatlah mencengangkan, yaitu jumlah sperma yang biasanya 60 juta per mililiter kini turun drastis hingga ke angka 20 juta per mililiter. (tinjauan kesehataan ini dipublikasi dalam: pikiranrakyat-online.com)

Larangan busana ketat tidaklah semulus wacana dan retorika, pemerintah dan masyarakat akan berhadapan dengan kendala yang tajam pada tataran implementasi. Untuk itu penulis menganjurkan beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah agar larangan busana ketat dapat dijalankan dengan sempurna.

Beberapa Tawaran Solusi

Pertama, pemerintah harus mengawalinya dengan niat yang tulus untuk kebaikan masyarakat, bukan hanya untuk mengalihkan isu demi kepentingan sesaat atau mempolitisir syari'at untuk mencari popularitas semata, dan bukan pula untuk membuktikan Aceh Barat yang telah dinobatkan sebagai Kabupaten Tauhid-Tasawuf.

Kedua, penerapan Syari'at Islam tidak boleh diskriminatif dimana hanya terbatas pada cara berpakaian, zina, khalwat, khamar dan maisir tetapi juga harus secara menyeluruh bahkan sampai pada hukuman potong tangan terhadap pelaku korupsi. Aturan larangan pakaian ketat jangan hanya terhadap wanita tetapi juga kaum pria yang memakai celana pendek maupun pakaian yang menampakkan lekuk tubuh.

Aturan juga harus berlaku untuk semua lapisan masyarakat. Bukan hanya untuk masyarakat kecil saja, sementara istri pejabat, PNS, pramugari, karyawan bank, karyawan swalayan, dan kawan-kawan bebas berkeliaran tanpa tersentuh oleh hukum. Jika prinsip keadilan tidak dijalankan maka masyarakat tidak percaya terhadap pemerintah dan acuh tak acuh terhadap Syari'at Islam.

Ketiga, perlu sosialisasi yang lebih lama agar masyarakat memahami betul terhadap implementasi sebuah Qanun sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda atau memunculkan berbagai kesalahpahaman terhadap Syari'at. Karena kenyataan menunjukkan bahwa sebagian yang mengecam Syari'at Islam mengaku belum pernah membaca aturan tersebut.

Keempat, memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap peran serta ulama, masyarakat dan orangtua untuk secara bersama-sama mengontrol prilaku saudara seiman agar mematuhi hukum, misalnya seperti penerapan reusam gampong yang pernah dipraktikkan oleh masyarakat Aceh tempo dulu.

Sebagai seorang muslim nampaknya kita perlu melihat secara lebih cermat esensi pelarangan busana ketat yang sesungguhnya sebelum menantang secara berlebihan. Kita tidak semestinya termakan oleh isu-isu demokrasi, pelanggaran HAM dan gender yang dilontarkan oleh musuh-musuh Islam untuk melemahkan aqidah dan komitmen ibadah serta untuk menciptakan konflik di antara sesama muslim sendiri.

Wallahua'lam bi shawab.

Oleh Masykur M.Yusuf, Staf KPU Pidie Jaya dan alumni IAIN Ar-Raniry
Di angkat dari Harian Aceh: Kenapa Muslim Menolak Syariat?

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails