Thursday, September 17, 2009

Ketua MKdi Mabes Serambi: Qanun Jinayat Perlu Diatur Teknis Hukumnya

Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD didampingi Pemimpin Redaksi Harian Serambi Indonesia, Mawardi Ibrahim, melakukan pertemuan dengan staf redaksi saat melakukan kunjungan ke Mabes Serambi Indonesia, Manyang PA, Aceh Besar, Selasa (15/9). SERAMBI/M ANSHAR

BANDA ACEH Sept 16, 2009- Terhadap Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan DPRA dalam Rapat Paripurna DPRA, Senin (14/9), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Dr Mahfud MD, mengatakan perlu diatur lagi teknis yuridisnya, agar tidak menimbulkan problema di kemudian hari. Seperti diberitakan kemarin, Pasal 24 ayat (1) qanun tersebut mengatur tentang sanksi zina. Bahwa laki-laki dan perempuan yang sama-sama sudah menikah, tapi terbukti berzina, maka masing-masing dirajam di tempat umum hingga meninggal. Sedangkan pasangan pria dan wanita yang belum pernah menikah, tapi terbukti berzina, maka dicambuk masing-masing 100 kali.

Menanggapi isi kedua qanun itu, Mahfud berpendapat masih perlu diatur teknis yuridis pelaksanaan hukum acaranya, juga teknis eksekusinya, sebelum ada perkara jinayat yang diputuskan majelis hakim Mahkamah Syar‘iyah di Aceh. Mahfud menyampaikan hal ini menjawab pertanyaaan wartawan Serambi saat ia bersama rombongan berkunjung ke Markas Besar (Mabes) Serambi di Meunasah Manyang, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, Selasa (15/9).

Kunjungan dalam rangka menyosialisasikan Amandemen UUD 1945 itu diikuti Hakim Konstitusi MK, Dr Akil Mochtar, Sekjen MK, Janedjri M Gaffar, Asisten Direktur Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Prof Dr Syahrizal Abbas, dan dosen Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Dr Hamid Sarong MH. Sedangkan dari Serambi dihadiri Pemred, Mawardi Ibrahim, Pemimpin Perusahaan Mohd Din, kalangan redpel, redaktur, dan sejumlah wartawan, termasuk dari Harian Prohaba, Tabloid Kontras, dan Radio Serambi FM.

Sebelumnya, Mahfud menguji disertasi seorang kandidat doktor di IAIN Ar-Raniry yang membahas soal qanun di Aceh. Secara yuridis, menurut Mahfud, masih ada problem pemberlakuan hukum acara kedua qanun yang baru dua hari disahkan itu. “Artinya, pemberlakuan hukum acara itu perlu dikaji kembali supaya pelaksanaannya lebih beradab, lebih humanis,” tegas Mahfud.

Ia menyatakan, keabsahan hukum diukur dengan tiga hal. Yakni, aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara filosofis dan sosiologis, qanun-qanun yang baru disahkan itu sudah sesuai dengan kehidupan masyarakat Aceh, karena masyarakat di sini menghendaki dan membutuhkannya. Kedua qanun itu juga sudah tepat secara filosofis dan sosiologis bagi masyarakat Aceh, sebagaimana diamanahkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA). “Nah, karena dia kehendak masyarakat Aceh, maka dia harus memberi manfaat yang baik,” kata Mahfud.

Tapi secara teknis yuridis, bisa saja ada beberapa problema yang muncul nantinya. Misal, akan ada benturan dengan KUHP, karena definisi zina di dalam KUHP berbeda dengan yang didefisinikan di dalam Qanun Jinayat. Selain itu, ada adagium hukum, apabila terjadi benturan dalam dua produk hukum, maka yang diterapkan kepada terdakwa adalah yang paling ringan (yang paling menguntungkannya).

Mahfud khawatir, kelak ada pihak di Aceh yang memilih atau menerapkan sanksi zina secara hukum pidana berdasarkan KUHP, karena menganggap hal itu lebih ringan dibanding sanksi zina di dalam Qanun Aceh tentang Jinayat. “Saya sendiri belum membaca kedua qanun itu. Tapi kabarnya di dalam konsideran yuridis qanun-qanun yang disahkan di Aceh disebutkan dasarnya, antara lain, Alquran dan hadis serta UUD 1945, tanpa menyebut pasal berapa. Ini juga menyangkut teknis yuridis, jika MA membatalkan qanun itu, apakah berarti MA telah membatalkan Quran dan hadis? Ini menjadi problem serius juga pada suatu saat nanti,” ujar Mahfud setengah berseloroh. Meski demikian, kata Mahfud, penerapan kedua qanun itu sudah bisa diberlakukan bagi seluruh umat muslim di Aceh. Namun, jika ada pihak yang kontra (tidak setuju), boleh melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). “Itu prosedur resminya,” kata Mahfud.

Bermanfaat
Hakim Konstitusi MK, Akil Mochtar, yang dipersilakan Mahfud menjawab sebagian pertanyaan mengatakan, kedua qanun itu bermanfaat bagi masyarakat Aceh dan umat muslim yang berdomisili di Aceh. Sebab, qanun itu lahir berdasarkan kehendak warga Aceh atas dasar UUPA, bahkan sebelumnya berdasarkan UU Otsus Nanggroe Aceh Darussalam (UU Nomor 18 Tahun 2001).

Ketika ditanya, apakah penerapan Qanun Jinayat itu --karena mencantumkan hukuman rajam sampai mati-- akan menimbulkan reaksi keras dari pejuang HAM internasional, Akil mengatakan sebagai negara berdaulat Indonesia mempunyai hak otonom dalam menjalankan aturan-aturan beradab, termasuk hukum Islam. Jadi, tidak menyalahi kalau di Aceh lahir qanun yang seperti ini. “Tetapi dari segi ekonomi saya tidak berani memprediksi,” demikian Akil.

Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat internasional mengenal dan menghargai sistem hukum Kontinental, Anglo Saxon, dan Hukum Islam, sebagai hukum positif. Jadi, kalau di Aceh yang sudah sejak 2002 menerapkan syariat Islam, lalu sekarang menerapkan Qanun Jinayat dengan segala konsekuensinya, maka sedianya semua pihak harus menghormatinya sebagai pilihan dan kehendak otonom masyarakat Aceh.

Soal KKR
Dalam penjelasannya mengomentari pertanyaan peserta pertemuan, Akil juga menyinggung soal Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang telah dibatalkan MK tahun 2005, tapi hingga kini belum diagendakan lagi pembahasan RUU-nya di DPR. Ia menilai, respons pemerintah pusat terhadap proses legislasi RUU KKR ini tergolong lamban. “Padahal, saya tahu, Aceh sangat berkepentingan dengan RUU KKR ini, demikian pula sejumlah provinsi lain,” timpalnya.

Diskusi yang dimulai sekira pukul 11.30 WIB itu berlangsung sekira satu jam. Selanjutnya, Ketua MK beserta rombongan mengunjungi sejumlah situs tsunami di Banda Aceh, di antaranya PLTD Apung di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Mahfud menyatakan rasa takjubnya terhadap dampak yang ditimbulkan tsunami Aceh tahun 2004, sebagai peristiwa alam terbesar yang menyebabkan korban jiwa di atas 200.000 orang. “Sepanjang sejarah dunia yang pernah dinukilkan, inilah bencana alam yang paling banyak menelan korban jiwa,” ujar mantan menteri Pertahanan RI itu. (sal/Serambinews/AK)

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails