Saturday, March 14, 2009

The Last Paradise of Birds.

Lihat gambar burung berkahwin ini… Sambil menengadahkan lehernya yang jenjang, seekor Egretta intermedia betina menggoyang-goyangkan badannya hingga bulu-bulu tubuhnya berdiri, terangkat sampai bulu halus berterbangan. Pasangannya menghampiri, kemudian mengambil tempat di hadapan. Berbuat begitus, saling berhadapan sejajar dalam dahan bakau. Paruhnya saling mencocok, sayapnya terkembang ke atas, dan bulu ekornya berdiri, menekuk ke depan. Hasilnya pasangan ini menampakkan satu gaya simetris membentuk lambang ‘love’terbalik. Selang beberapa detik kemudian, si jantan berpindah tempat, berada di punggung pasangannya, mematok kepala si betina yang sudah menyerah.. dan sperm pun memasuki tubuh betina. Ritual perkahwinan pun selesai.. [Teks dan Foto oleh Bernard T. Wahyu Wiryanta (The Wildlife Photographers Community)]


Ibnu Hasyim Catatan Perjalanan Di Pulau Rumput Jakarta Utara

SAYA yang bertengger di pohon bakau, di ketinggian 6 meter, dan berjarak 30 meter dari ritual tadi, hanya mendapati sang jantan yang terbang, meninggalkan pasangannya. Selesai sudah ritual perkahwinan sepasang kuntul kerbau tadi ketika lensa 200-400 mm sudah terpasang di Nikon D1x. Tarian dalam ritual perkawinan yang saya tunggu sejak pagi tadi, terlewat, kerana saya terfana melihat kecantikan koreografi yang mereka ciptakan dengan sebuah insting, naluri, yang sudah berjalan selama ribuan tahun.

Sementara itu, di rawa di bawah saya, seekor ‘Anhinga melanogaster’ menyelam. Tidak lebih dari 30 detik kemudian lehernya menyembul keatas, kira-kira 5 meter dari tempatnya menyelam tadi, dan melemparkan seekor ikan ke udara. Ketika ikan tadi kemudian mencapai titik tertinggi dan mulai tertarik gravitasi, paruh Anhinga ini terbuka, menangkap ikan tangkapannya. Dan lehernya meneruskannya sampai ke temboloknya yang sudah penuh. Di pohon lainnya, di sebelah kanan saya, seekor induk burung kuntul putih, menyuapi anaknya dengan ikan. Kerana kelaparan, yang seharusnya paruh anaknya masuk dan mengambil makanan kedalam paruh induknya, malahan mencaplok paruh induknya.

Di daratan lembab di belakang saya, seekor anak burung ‘Butorides striatus’ yang baru belajar terbang dan terjatuh, sedang berteriak meronta ketika separo badannya, yang masih jarang ditumbuhi bulu, dililit oleh seekor ‘Boiga dendrophila. Suara anak burung ini sejurus kemudian hilang, kerana tertutup riuhnya suara rombongan ‘Phalacrocorax sulcirostris yang baru pulang menyelam, mencari ikan untuk anak-anaknya. ‘Phalacrocorak’ atau pecuk padi adalah burung penyelam yang handal.

Koreografi ritual perkawinan, aktivitas perburuan ikan, rutinitas menyuapi anak, dan proses survival dari predator di sekeliling saya ini, merupakan aktivitas harian di Suaka Margasatwa Pulau Rambut. Dengan hampir 50% terdiri dari pohon bakau, hutan di Pulau Rambut ini menjadi tempat yang aman bagi beberapa spesies burung. Kebanyakan adalah burung air, dengan sedkit burung kicau. Masing-masing pohon, berisi lebih dari 25 sarang, yang hampir semuanya ditempati oleh keluarga aves. Pohon yang lebih besar bahkan ada yang berisi lebih dari 100 sarang. Jarang ada sarang ‘yang nganggur’ disini. Pada bulan-bulan November sampai Mac, maka sarang-sarang ini akan penuh dengan anak burung yang baru menetas. Kebanyakan spesies kowak malam, kuntul, dan bebek (itek) air.


Pulau yang berstatus sebagai Suaka Margasatwa, dan dikelola oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI ini sejak awal memang tidak pernah menjadi tempat tinggal manusia. Perburuan haiwan dan penebangan pohon pun dilarang. Hingga tempat ini menjadi aman buat puluhan spesies burung tinggal dan berkembang biak. Juga puluhan biawak dan ular pyton serta cincin emas. Maka tidak hairan jika tempat ini mendapat julukan ‘The Last Paradise of Birds’, atau syurga terakhir bangsa burung. Namun buat spesies lain, ular dan biawak, sebagai predator, pulau ini juga menjadi ‘padang perburuan abadi’ dengan mangsa yang berlimpah ruah.


Pulau Rambut merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Seribu, dan secara administratif masuk dalam wilayah Jakarta Utara. Pulau yang berseberangan dengan pulau wisata, Pulau Untung Jawa ini relatif mudah ditempuh dari Jakarta. Dari Tanjung Pasir, Tangerang, dengan menumpang perahu, kita hanya akan diombang-ambingkan ombak selama kurang lebih 15 menit saja sebelum sampai di dermaga syurga ini. Sedangkan dari Ancol atau Muara Angke, paling-paling hanya 30 minit waktu tempuhnya. Namun kerana syurga ini merupakan daerah konservasi, kita tidak boleh asal nyelonong saja. Jika akan melewati pasukan penjaga pintu syurga, para jagawana, kita harus sudah mengantongi surat izin masuk kawasan konservasi.

Surat sakti ini dikeluarkan oleh BKSDA DKI, yang markasnya ada di Jl. Salemba, Jakarta. Ketika pertama kali menginjak dermaga di syurga ini, jangan harap akan disuguhi pemandangan seperti yang diceritakan kitab suci. Alih-alih peri cantik yang harum dan buah-buahan yang ranum bergelantungan, bau kotoran burung menyengat hidung yang akan menyambut kita. Juga serangan bom kotoran burung dari penghuni yang jumlahnya ribuan beterbangan di atas. Kadang selain mengebom dengan kotorannya, mereka juga sering menjatuhkan ikan yang sudah dicerna di temboloknya. Yang sering usil begini biasanya Phalacrocorax sulcirostris dan Butorides striatus. Jadi memakai topi, apalagi topi rimba, wajib hukumnya kalau tidak mau dihukum oleh pasukan burung.

Beberapa penghuni syurga yang tercatat adalah kepodang (Oriolus chinensis), dara laut (Steanidai), bluwok/walangkadak (Ibis cinercus), cangak abu (Ardea cinerea), cangak merah (Ardea purpurea), raja udang (Alcedinidae), kowak malam (Butorides striatus), kowak merah (Nyeticorax saledonicus), alap alap putih/tikus (Elanus hypoleucus), culik culik (Edynamis scolopacea), kalong (Pteropus), elang bondol (Heliastur indus), gagak (Corvus), bangau tong tong atau merabu (Leptoptilos javanicus) kucing hutan, srigunting, biawak, pelung mandar, pecuk padi (Phalacrocorax sulcirostris), pecuk ular (Anhinga melanogaster), blekek, blekek kembang, mliwis kembang, roko roko (Plegadis falcinellus), mliwis, kuntul bangau putih, ibis putih, pelatuk besi, bebek laut, ular phyton (Python reticulatus), dan ular cincin emas (Boiga dendrophila).

Di Pulau konservasi ini, terdapat trek untuk berkeliling pulau. Di bahagian tengah pulau, di perbatasan hutan tanaman darat dan hutan bakau terdapat menara yang bisa dipakai sebagai gardu pandang, dan menjangkau pemandangan seluruh pulau. Bahkan Pulau Untung Jawa di seberang pun juga terlihat dari ketinggian ini. Ribuan penghuni syurga yang berlalu-lalang pun juga bisa dipantau dari menara berkonstruksi besi ini. Jika mau petualangan lain, kita bisa berjalan kaki mengelilingi pulau. Sebahagian pantainya yang berpasir memang enak untuk berjalan-jalan. Namun di pantai bagian utara pulau, pantainya berupa hutan bakau, jadi harus ekstra hati-hati ketika berada di pantura Pulau Rambut.

Pasalnya, banyak sampah yang nyangkut di akar udara pohon bakau, beling, kayu, dan sampah lain bisa menghambat petualangan. Jika memutuskan menginap, dengan izin terlebih dahulu tentunya, kita bisa menginap di mess yang ada di pulau ini. Hanya saja harus membawa bekal makanan dan air tawar sendiri. Sebab disini sangat miskin air tawar. Namun untuk lauk pauk jangan kuatir, kita bisa memancing atau menjebak ikan di pantai Pulau Rambut. Bosan mengamati burung, para pengunjung Pulau Rambut, biasanya akan dibantu oleh salah satu penjaga Pulau peraih Kalpataru untuk menanam bakau di sekitar firdausnya bangsa aves ini.

Sebab jika bakau habis, tanpa penanaman kembali, dengan semakin meningkatnya pemanasan global, maka syurga ini bisa tenggelam oleh air laut, seperti di zaman Nabi Nuh.

Oleh
Bernard T. Wahyu Wiryanta
Indonesia.

Disalin dan diedit semula oleh Ibnu Hasyim.

1 comment:

jelita said...

brung-burung yang sangat cantik ya

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails