Thursday, March 15, 2012

Dari Putussibau Ke Badau. Kamu Orang Iban?

Pekan Badau
CATATAN PERJALANAN: Kalimantan siri 13

BAS yang kutumpangi merangkak perlahan-lahan keluar kota. Mulanya jalan biasa, makin jauh perjalanan jalannya makin teruk, makin banyak rosak. Tidak pernah aku menaiki bas seteruk itu, masa ini samada di Timor Lest, Indonesia atau Malaysia.

Bertolak dari Putussubau, penumpang sudah penuh, barang-barang pun penuh termasuk di ruang laluan dalam bas, hingga ke atas bumbung bas. Tempat duduk aku di tepi pintu, barang penuh dengan guni-guni sampai ke tepi pintu. Nak berlunjur kakiku pun susah. Suasana begitu, biasa saja bagi penduduk di situ. Bas terus berhenti mengambil dan membuang penumpang, lantas terus berlalu

Bas, waktu mula bertolak dari stasyen.

Semakin jauh perjalanan, jalan semakin teruk. Walaupun asalnya jalan tar tetapi tarnya sudah tidak nampak. Berlumuran tanah merah. Berlubang-lubang besar. Beberapa kali bas terasa senget seakan-akan hendak terbalik. Hampir 10 kali terjadi penumpang-penumpang menjerit terkejut bila bas terumbang-ambing, jatuh dalam lobang.. Namun penumpang terus bertambah, ku lihat bukan sahaja penumpang duduk di atas barang dalam bas, tetapi juga duduk di atas bumbung bas.
Begini jalanraya nya..

Walaupun begitu, namun padaku suatu perjalanan yang indah, dengan panorama yang menggetar hati, terasa keagungan Allah yang Maha Agung. Melintasi sungai ngarai, bukit bukau gunung ganang, lembah paya, kampung-kampung penduduk tempatan, rumah panjang, pendek kecil dan segala-galanya tambah kehebatan Allah SWT.

Sektar perjalanan..


Ini bukan rumah tempat tinggal, tetapi peti kubur di Kutai. Foto tersebut merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti Selokng ditempatkan di Garai. Ini merupakan penguburan primer-tempat mayat melalui Upacara/Ritual Kenyauw. Sementara di sebelahnya, terlihat sepotong, merupakan Tempelaq tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.

Yang duduk sebelahku bertukar ganti. Terakhir, seorang ibu muda dengan anaknya yang digendung. Ia meletakkan begnya di atas guni di depanku tepi pintu. Waktu bas bolak-balik kulihat begnya menggelunsur nak jatuh, terus tanganku menangkapnya supaya tidak jatuh. Ku letakkan di tempat selamat tidak jatuh.

"Terima kasih!" Ucapnya kepadaku. Dia tanyaku "Kamu orang Iban?"

Iban adalah cabang dari kaum Dayak. Istilah 'Dayak' paling umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim atau non-Melayu yang tinggal di pulau Kalimantan itu, terutama di Malaysia. DiIndonesia suku-suku Dayak yang Muslim tetap dikategori Dayak walaupun beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini.

Ada yang mengatakan kata Dayak berasal dari kata 'daya' dari bahasa Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. Ada juga yang menduga-duga bahawa Dayak mungkin juga berasal dari kata 'aja', sebuah kata dari bahasa Melayu yang berarti asli atau pribumi. Ada juga yang yakin kata itu berasal dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tidak sesuai atau yang tidak pada tempatnya.

Istilah untuk suku penduduk asli dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya, sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu). Jadi, istilah Daya ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan Dayak Laut iaitu rumpun Iban. Di Banjarmasin, istilah Dayak mula digunakan dalam perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826.

Bertujuan untuk menggantikan istilah Biaju Besar (daerah Sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai Kapuas Murung). Masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah “Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk asli setempat yang berbeda-beda bahasanya, khususnya non-Muslim atau non-Melayu.

Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak dipakai dalam konteks penduduk penguasa kolonial yang mengambil alih kedaulatan suku-suku di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.

Aku jawab, "Tidak. Aku bukan orang Iban, tetapi Melayu Malaysia. Kamu pula mahu ke mana?"

"Aku pergi jumpa suami aku, dia kerja di Badau.. Kamu pula mahu ke mana?"

"Oh Aku cuma jalan-jalan. Mahu lihat budaya hidup orang Iban dan Dayak!" Kataku.

"Kalau ada ruang aku bisa kenalkan kamu dengan suamiku. Kamu boleh lihat budaya rumah panjang kami.." Pelawanya.

"Oh, terima kasih banyak! Ituah yang saya cari-cari." Jawabku. Aku cukup gembira.

Bersambung, Insya Allah!

Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com

27 Feb 2012
Pontianak, Kalimantan Barat.

Lihat catatan perjalanan...

E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan
E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan

2 comments:

Anonymous said...

Sungguhe sedih bila bayangkan Kalimantan yang merupakan sumber petroleum Indonesia dan Belanda dan menjadi target utama Jepun semasa Perang Dunia II masih mundur begitu sekali.
Alangkah baiknya jika satu sistem rel menghubungkan seluruh bandar utama di Borneo menggunakan sistem rel laju dan sumber tenaga dari Bakun?
Bukankan ini dalat menyelamatkan sumebr alam Borneo. pulau ke3 terbesar di dunia?

Anonymous said...

Betul tu, entahlah Indonesia ini.

anak Kalimantan.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails