Friday, June 25, 2010

Bakar Tongkang Di Bagansiapiapi..

Catatan Perjalanan: Riau 4

Lihat tongkang yang dibakar..

KOTA di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, petang itu tampak begitu meriah dengan berbagai lampion warna keberuntungan budaya Tionghoa, merah, dan kepulan asap dupa, serta bunyi-bunyian riuh rendah diiringi gumam doa-doa. Warga keturunan Tionghoa hari itu menggelar upacara Bakar Tongkang, yaitu membakar patung kapal layar tradisional negeri Cina.

Lidah api menjilat-jilat, asapnya pun mengepul-ngepul kehitaman membakar patung kapal yang berhiaskan kertas berwarna-warni. Tongkang itu diisi dengan berbagai macam lambang barang. Hasil bumi serta hasil laut yang menjadi kebanggaan Bagansiapi-api selama puluhan tahun.


Sedangkan di sekelilingnya, orang ramai bersorak-sorai sambil menabuh gendang kecil serta gong bertalu-talu menggemuruh memekakkan telinga. Ribuan orang menggumam berdoa sambil mengacung-acungkan hio. Asap hio yang wangi itu bercampur dengan asap bakaran ribuan lembar kertas doa warna kuning yang digelar di bawah kapal itu tadi memedihkan mata, tapi orang-orang itu tetap bertahan.

Di sekeliling patung kapal yang dibakar itu pula belasan tan ki kesurupan menggelepar-gelepar menunggu tumbangnya dua tiang utama kapal. Mereka berpakaian tradisional Tionghoa, bertelanjang kaki, membawa sebilah pedang kecil di tangan kiri, memegang mopit (kuas untuk menulis) di tangan kanannya dan sebagian dengan pipi yang tertusuk kawat runcing. Tusukan itu tidak mengakibatkan pendarahan sama sekali dan orang-orang itu tidak menampakkan rasa kesakitannya.

Upacara Bakar Tongkang diadakan sekali setahun pada bulan ke enam tanggal 16. Ditujukan untuk menghormati dewa keberuntungan mereka, Ong Ya Kong. Dewa yang menurut kepercayaan warga keturunan itu, dibawa serta dari Cina daratan bersamaan dengan pelayaran perantauan mereka ke arah Selatan.

Para perantau itu berabad-abad yang lalu menggunakan tongkang meninggalkan Hokkian (Fujian) guna mencari penghidupan baru di Pulau Sumatra. Mereka kemudian mendarat di Bagansiapi-api, karena melihat ada nyala api di daratan. Semula mereka menyebut daerah itu sebagai Bagan Api.

Sejak tanggal 14 mereka sudah mengadakan sembahyang di kelenteng yang jumlahnya mencapai ratusan di kota ikan itu. Boleh dikatakan, hampir tiap dua rumah terdapat sebuah kelenteng. Di pusat kota, di depan kelenteng utama, dipasang sebuah panggung besar tempat untuk mengadakan pagelaran seni seperti musik maupun teater tradisional Cina setiap malam.

Setiap rumah memasang lampion merah yang diikat di depan maupun di atas jalan-jalan kota itu. Pemandangannya amat menarik, kita seolah-olah seperti di sebuah perkampungan di RRC atau Taiwan sana.

Mereka juga membangun sebuah patung kapal dari kayu, kain serta kertas warna-warni, tapi lebih dominan warna merah-kuningnya. Di dalamnya ditaruh beras, sayuran atau barang-barang lain yang bisa disimbolkan dengan patung-patung kertas kecil.

Menurut Akong, salah seorang warga keturunan, di zaman makmur beberapa belas tahun yang lalu, orang sampai mau menaruh perhiasan emas sebagai rasa syukur serta pesembahan kepada Ong Ya Kong yang telah membantunya mencari rezeki di tanah rantau.

Sembari menunggu penyelesaian kapal, maka berdatanganlah belasan rombongan yang berasal dari masing-masing kelenteng atau tepekong untuk bergabung. Mereka masing-masing mengiring seorang pemimpin doa, semacam dukun, yang disebut tan ki, dalam keadaan trance. Mereka ini adalah orang pilihan dari masing-masing kelompok. Tampak di antaranya beberapa orang wanita. Dalam keadaan seperti itu mereka sering dimintai pertolongan misalnya untuk pengobatan, ramalan nasib dan lain-lainnya.

Jalannya Upacara

Pada sekitar pukul 16.00 petang, arak-arakan itu berangkat dimulai dari pusat kota menuju ke kampung Baikbaik yang terletak tidak jauh dari pantai. Pawai itu diawali oleh serombongan regu drumband. Beberapa orang warga pribumi ikut berpartisipasi dalam upacara tradisional tersebut. Di sepanjang jalan, warga keturunan menyambutnya dengan mengacung-ngacungkan hio sambil komat-kamit berdoa meminta sesuatu.

Setelah berjalan lambat-lambat selama lebih kurang sejam, rombongan itu tiba di sebuah lapangan seluas setengah lapangan sepakbola. Di sanalah kapal itu dibakar dengan diiringi gemuruh pukulan gendang dan gong tradisional Cina. Pelan-pelan kapal itu dilalap api dengan rakusnya. Warga keturunan menunggu-nunggu jatuhnya dua tiang utama kapal. Bila jatuh ke arah daratan, maka mereka percaya bahwa hasil bumi (petani) akan lebih maju ketimbang hasil laut (nelayan).

Petang itu tiang utama jatuh ke arah daratan, diiringi sorak-sorai menggelegar dari para pengunjung peserta upacaranya. Aguan, seorang warga Jalan Bintang mengharapkan, upacara seperti ini akan lebih meriah lagi di masa mendatang, karena kedatangan turis sedikit banyak meningkatkan pendapatan mereka.

Demikian tulisan Adji Subela bersumberkan Sinar Harapan, alam hangat dari Liburan.Info...

Itulah GoCapLak atau Bakar Tongkang suatu ritual dari masyarakat Cina yang terkenal di Bagansiapiapi. Ritual tersebut diadakan setiap penanggalan Imlek bulan kelima disebut 'Go'. Dan pada tanggal ke-16, disebut 'CapLak', yang diadakan setiap tahun. Ritual tersebut mampu menggamit puluhan ribu pelancung atau wisatawan baik domestik maupun manca negara. Pemda Kabupatan Rokan Hilir waktu itu hebat mempromosinya.

Upacara Bakar Tongkang adalah budaya menarik pelancung atau 'wisata budaya' unggulan Provinsi Riau dari Kabupaten Rokan Hilir atau Rohil. Upacara yang telah menjadi wisata nasional dan internasional. Upacara Bakar Tongkang adalah upacara tradisional masyarakat Cina di Ibu Kota kabupaten Rokan Hilir yakni Bagansiapiapi. Ritual Bakar Tongkang juga merupakan kisah pelayaran masyarakat keturunan Cina yang melarikan diri dari penguasa Siam pada abad ke-19.
Didalam kapal yang di pimpin oleh Ang Mie Kui, terdapat patung Dewa Kie Ong Ya dan lima dewa, dimana panglimanya disebut Taisun Ong Ya. Patung -patung dewa ini mereka bawa dari tanah Tiongkok dan menurut keyakinan mereka, dewa tersebut akan memberikan keselamatan dalam pelayaran, hingga akhirnya mereka menetap di Bagansiapiapi.
Untuk menghormati, mensyukuri kemakmuran dan keselamatan yang mereka peroleh dari hasil laut sebagai mata pencaharian utama masyarakat Cina Bagansiapiapi, maka mereka membakar 'wangkang' atau tongkang yang dilakukan tiap tahun. Proses sembahyang tersebut dilaksanakan pada 15, 16 bulan 5 tahun Imlek.
Ada juga sumber lain menyebutkan bahawa ritual Bakar Tongkang adalah ritual pemujaan untuk memperingati hari ulang tahun Dewa Kie Ong Ya atau Dewa Laut. Upacara ini memiliki ciri khas tersendiri dan tidak dapat ditemui di tempat lain di Indonesia. Pada zaman pemerintahan Soeharto, upacara seperti ini sempat dilarang tetapi kemudian diaktifkan kembali di era pemerintahan Gus Dur sampai sekarang ini.
Sayangnya, saya sampai lambat di sini, baru minggu lepas upacara ini telah dilaksanakan. Maklumat ini saya kutip dari internet hasil dari pertolongan lelaki Cina seperti yang saya ceritakan sebelum ini.
Bagansiapiapi: 5cap6 Bakar Tongkang King Ship Burning Ritual

thehimalaya 5 videos


<div class="yt-alert yt-alert-error yt-alert-player yt-rounded"> <img src="http://s.ytimg.com/yt/img/pixel-vfl73.gif" class="icon master-sprite" alt="Alert icon"> <div class="yt-alert-content"> You need Adobe Flash Player to watch this video. <br> <a href="http://get.adobe.com/flashplayer/">Download it from Adobe.</a> </div> </div>


Bersambung insya Allah.

Ibnu Hasyim Catatan Perjalanan Riau 4.
alamat e-mail: ibnuhasyim@gmail.com Di hotel Rohil Bagan Siapiapi, Riau.
Jun 17, 10.
Sila lihat catatan perjalanan di Riau..

1 comment:

Anonymous said...

Beratus tahun tinggal di Indonesia tapi masih percayakan kuasa selain Allah...

Kena fikirkan bagaimana usaha untuk mendakwahkan Islam kpd mereka...

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails