Tuesday, January 31, 2012

Bom Bali, Mengapa T/Kasih Kpd Pengebomnya?

BALI: Pariwisata, Narkoba dan Terorisme

CATATAN PERJALANAN siri 20

SEBUT saja Bali orang ramai teringat kepada tragedi bom oleh apa yang digelar 'teroris' atau pengganas. Maka weblog ini memilih tulisan Al-marhum Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri (gambar disebelah) yang memberi kebenaran memaparkan tulisannya dalam dalam blog http://nahimunkar.com/memperingati-tragedi-bom-bali-pembantaian-muslim/ beberapa bulan sebelum beiau meninggal dunia. Tulisan berjudul:

Memperingati Tragedi Bom Bali, Pembantaian Muslimin di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo

Oleh Ir. H. Muhammad Umar Alkatiri. Sila ikuti..

TANGGAL 12 OKTOBER 2002, tepat satu tahun lebih satu bulan lebih satu hari setelah peristiwa 11 September 2001 (atau biasa dikenal dengan sebutan WTC 911 yang terjadi di Amerika Serikat), terjadi ledakan dahsyat di Bali. Tiga tahun kemudian, 01 Oktober 2005, terjadi lagi ledakan di pulau yang sama dengan titik lokasi kejadian berbeda.

Bila diperhatikan jarak Bom Bali pertama dengan kedua berselang tiga tahun, ada yang mengkhawatirkan jangan-jangan di tahun 2008, khususnya di bulan Oktober ini, akan terjadi ledakan serupa di pulau yang sama. Namun Alhamdulillah, sampai saat tulisan ini dibuat, kejadian seperti tahun 2002 dan 2005 itu tidak terjadi.

Bali sejak awal 1970-an telah menjadi pulau pariwisata. Namun, industri pariwisata yang berkembang di Bali sama sekali tidak bertitik tolak dari eksotika budaya Bali, tidak sekedar menjual keindahan Bali dengan segala kehidupannya yang bernapaskan Hindu. Tetapi, pariwisata di Bali adalah industri yang menjajakan seks bebas, drug, narkoba, perjudian, dan segala bentuk maksiat lainnya. Di samping itu, industri pariwisata di Bali tidak menghormati tempat-tempat suci umat Hindu Bali.

Contohnya, laut menuju Pulau Serangan dengan Pura Sakenan warisan Danghyang Nirartha ditimbun investor, sehingga orang Bali tidak lagi bisa berkunjung untuk menjalani ritual ke Pura Sakenan. Selain itu, di seberang Pura Tanah Lot dibangun lapangan golf dan hotel mewah Nirwana Resort.

Nirwana Resort

Ironisnya lagi, kontribusi dunia pariwisata terhadap upaya pemeliharaan tempat-tempat suci orang Hindu di Bali, amat tidak signifikan. Barangkali, inilah hasil yang dipetik dari diterapkannya pluralisme dan toleransi ala Bali sejak 1970-an. Bahkan di Bali ada café khusus yang hanya boleh dimasuki wisatawan asing. Untung saja di café tersebut pada pintu masuknya tidak tertulis pesan berupa: Khusus Turis Mancanegara, Pribumi dan Anjing Dilarang Masuk!

Dari Bali, seharusnya kita sudah bisa melihat dan merasakan betapa harga diri bangsa kita direndahkan, dengan alasan menghormati tamu (turis mancanegara) yang menyumbangkan devisa. Anak-anak bangsa kita menjadi pelayan bagi turis-turis mancanegara yang sebagian besar di negara asalnya hanya berasal dari kelas sosial rendahan, seperti sopir truk dan sejenisnya.

Kalau tragedi Bom Bali merupakan reaksi sebagian orang atas nama mujahid Islam terhadap kasus pembantaian di Tobelo-Galela (dan Maluku pada umumnya), juga merupakan reaksi terhadap aksi pembantaian di Pesantren Walisongo (dan Poso pada umumnya), mengapa Bali yang dijadikan pilihan? Bukankah di Bali penganut agama Kristen-Katholik hanya minoritas belaka? Bukankah di Bali mayoritas penduduknya beragama Hindu?

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika, mengapa korban yang jatuh kebanyakan warga Australia? Pada Bom Bali pertama, korban terbesar berasal dari Australia, dan hanya sekitar 7 orang saja yang warga negara Amerika Serikat. Pada Bom Bali kedua, dari 20 korban tewas, lima belas di antaranya adalah warga negara Indonesia; sedangkan dari seratus lebih korban luka-luka, sebagian besar (atau sekitar 67 orang) berasal dari Indonesia. Warga negara Amerika Serikat yang luka-luka hanya empat orang.

Kalau yang dijadikan alasan adalah melawan Amerika dan sekutunya, seharusnya ledakan bom itu di sana: di Amerika, di Australia, di Inggris, dan sebagainya. Bukan di Bali!

Mengapa Bali? Apakah karena para pelaku Bom Bali itu begitu ‘terkesan’ dengan sikap orang Bali yang sedikit-sedikit gemar mengumbar ancaman kosong berupa akan memisahkan diri dari NKRI? Apakah ini menunjukan bahwa orang Bali tidak loyal kepada NKRI, sehingga perlu diberi ‘pelajaran’ menurut pandangan para pelaku Bom Bali? Wallahu’alam.

Mengumbar Ancaman

Masih ingat ketika orang Bali pada Januari 2000 turun ke jalan dan mengumbar ancaman akan memisahkan diri dari NKRI, ‘hanya’ karena AM Saefudin mempertanyakan agama Megawati yang –sebagaimana diberitakan The Jakarta Post– terlihat sedang bersembahyang di salah satu Pura di Bali?

Megawati yang beragama Islam bersembahyang di Pura, tentu merupakan sembahyang politik. Artinya Megawati telah dengan sengaja mempolitisasi sembahyang (ritual agama Hindu) untuk kepentingan politiknya, yaitu dalam rangka mencari simpati masyarakat Bali untuk memilih partainya.

Berdasarkan logika akal sehat, seharusnya masyarakat Hindu di mana pun berada –terutama yang berada di Bali– marah kepada Megawati, karena ritual keagamaannya dimain-mainkan oleh politisi. Namun kenyataannya, orang Bali justru marah kepada AM Saefudin, dan bahkan mengumbar ancaman mau memisahkan diri dari NKRI. Ancaman serupa itu juga terjadi di tahun 2006 dan 2008 demi menolak RUU APP yang kini menjadi RUU Pornografi.

Orang Bali menolak RUU APP (atau RUU Pronografi), dengan alasan demi menjaga keragaman dan kesatuan yang ada pada bangsa Indonesia, sekaligus untuk melawan pemaksaan kehendak kelompok Islam karena RUU Pornografi itu dinilai membawa aspirasi agama tertentu (Islam). Benarkah demikian?

Faktanya, pada semester kedua tahun 2006, terjadi kasus pemaksaan mengucapkan salam dengan tata cara agama Hindu terhadap anggota DPRD Bali beragama Islam (dari PPP), sebagaimana dilakukan oleh I Made Kusyadi dari Fraksi PDIP. Kusyadi ketika itu berdalih, bahwa salam Hindu sedang diperjuangkan anggota DPD asal Bali menjadi salam nasional. Alasan ini jelas mengada-ada, karena sejauh ini tidak ada satu bentuk salam dari agama tertentu yang sedang diperjuangkan menjadi salam nasional. Tindakan Kusyadi merupakan bentuk nyata dari politisasi agama, dan menunjukkan bahwa politisi kader PDIP itu belum dewasa, cenderung sektarian dan arogan.

Kalau Bali benar-benar memisahkan diri dari NKRI, apakah akan lebih baik lagi keadaannya? May be yes, may be no. Soalnya, pada saat masih menjadi bagian dari NKRI saja, orang Bali seperti koeli di kampungnya sendiri. Bagaimana kalau mereka berpisah dari NKRI? Apalagi, ketergantungan Bali terhadap orang-orang di luar Bali begitu tinggi. Pelaku bisnis di Bali, sebagian besar berasal dari luar Bali. Termasuk pelaku bisnis di kaki lima dan pasar tradisional, sebagian berasal dari luar Bali (terutama Jawa dan Lombok). Bahkan, untuk memenuhi keperluan ritualnya, pasokan janur, telur bebek (itik), kelapa dan berbagai kembang dipasok dari Jawa Timur. Jika Bali berpisah dari NKRI, jangan-jangan nasibnya tidak lebih baik dari Timor Timur (Timor Leste).

Pada harian BERITA KOTA edisi 17 Maret 2006 (halaman 5), seorang putra Bali yang berdomisili di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menuliskan opininya berjudul Bali Bukan Pulau Maksiat, sebagai berikut:

BAGI mereka yang masih ingat pelajaran sekolah dasar (SD), khususnya tentang Bali, pastilah masih terngiang dengan istilah Subak, yaitu sistem pengairan sawah berjenjang khas Bali yang menjadi salah satu nilai tambah orang Bali.

Pada dasarnya masyarakat Bali adalah agraris sekaligus artistik. Sawah dan kesenian adalah ciri khas Bali.

Sebelum Orde Baru lahir, Bali mulai mengalami penjajahan kultural, yang menggeser kebiasaan masyarakatnya dari bertani dan berkesenian menjadi pelayan orang asing dengan kedok pariwisata.

Neokolonialisasi yang dialami rakyat Bali justru dianggap sebagai berkat terselubung, baik oleh petinggi agama Hindu, tokoh adat, maupun rakyat pada umumnya. Karena faktor dolar, maka penjajahan bentuk baru ini justru dinikmati dan disyukuri karena dapat menjadi sumber pendapatan utama kawasan Bali.

Rakyat Bali yang sudah tergadaikan harga dirinya ini, masih pula bersikap sombong, yaitu gemar menebarkan ancaman mau memisahkan diri. Padahal, jika Bali lepas dari NKRI, akan semakin leluasa dijadikan obyek eksploitasi dan perbudakan oleh bangsa asing. Sekian dasawarsa telah membuktikan bahwa masyarakat Bali sangat mudah ditaklukkan (dijajah), setidaknya berupa penjajahan kultural melalui pariwisata.

Pariwisata yang lekat dengan maksiat, memang kawasan yang mudah mendatangkan uang. Tanpa kerja keras, dolar mengalir deras. Masyarakat Bali seperti artis muda yang sedang laris, uang datang dengan mudah sehingga lupa diri dan hidup berfoya-foya.

Kelak, Bali akan memasuki usia tua dan sakit-sakitan sehingga tidak diminati turis. Misalnya, akibat diterjang bencana alam yang dahsyat atau penyakit kotor yang mematikan sebagai dampak negatif dari industri pariwisata.

Bagi para tetua Bali, kerinduan akan Bali yang agraris adalah kerinduan yang tak mungkin terwujud. Kini, masyarakat Bali lebih senang dan bangga menjadi pelayan orang asing, lebih senang hidup dan menjadi bagian dari industri maksiat. Padahal, asal-muasal Bali bukanlah Pulau Maksiat tapi Pulau Dewata. (Putu Yasa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan)

NAMUN DEMIKIAN, memang sangat pantas bila orang Bali marah kepada Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas, Amrozi bin Nurhasyim, Imam Samudra alias Abdul Azis, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale. Mungkin orang Bali menghendaki agar eksekusi mati atas diri mereka segera dilaksanakan.

Mukhlas, Imam Samudra dan Amrozi

Tapi, mohon dimengerti juga bila ada orang Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada mereka, karena sakit hatinya terlampiaskan. Sakit hati yang timbul karena salah seorang anak mereka pernah menjadi korban pengidap paedophilia. Sakit hati yang ditimbulkan oleh rasa kesal dan benci karena tempat-tempat suci mereka diinjak-injak turis asing. Sakit hati yang timbul karena anak-anak mereka menjadi kurir narkoba, pengguna narkoba, dan sebagainya.

Paul Francis Callahan tersangka kasus pedofilia asal Melbourne (Australia)

Orang Bali yang bersikap seperti itu memang amat sangat sedikit sekali alias minoritas. Nah ini merupakan kesempatan bagi para pendukung minoritas seperti Gus Dur untuk membela mereka. Soalnya, Gus Dur khan selama ini selalu mencitrakan diri sebagai pendukung minoritas, antara lain Ahmadiyah. Pada 4 Mei 2008, ketika sejumlah wartawan bertanya mengapa ia membela Ahmadiyah, Gus Dur mengatakan, “Karena mereka kaum minoritas yang perlu dilindungi dan saya tidak peduli mengenai ajarannya.” (lihat tulisan berjudul Gus Dur Bela Ahmadiyah Berdalih karena Minoritas edisi May 8, 2008 1:10 am).

Tak berapa lama kemudian, Gus Dur pun mendapat penghargaan dari Mebal Valor, sebuah LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang berbasis di Los Angeles. Siapa tahu kali ini pun Gus Dur bisa mendapat hadiah serupa setelah membela minoritas Bali yang justru ‘berterimakasih’ kepada Amrozi cs karena telah melampiaskan rasa sakit hatinya. Untuk lebih afdholnya, Gus Dur juga sebaiknya membela Amrozi cs, karena mereka itu juga minoritas. Faktanya, mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani dan nelayan, hanya sedikit saja (minoritas) yang berprofesi sebagai pelaku pemboman. “Belain mereka juga dong, Gus…”

Bom Bali Pertama

Bom Bali Pertama yang terjadi pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2002, sekitar pukul 23.10 WITA, selain menelan 202 korban jiwa, juga menyebabkan sekitar 350 orang lainnya mengalami luka-luka berat dan ringan. Ketika itu, terjadi tiga ledakan sekaligus, dua diantaranya terjadi di jalan Legian, Kuta (Bali), satu lainnya di Renon dekat Konsulat AS (jalan Raya Puputan).

Bom Bali Pertama 12 Oktober 2002

Ledakan yang terjadi di jalan Legian, khususnya di Paddy’s Pub dan Sari Club, menyebabkan kedua bangunan tersebut porak poranda, dan beberapa bangunan di sekitarnya rusak berat dan ringan. Menurut cacatan pihak kepolisian, korban terbesar berasal dari Australia (sekitar 83 orang), diikuti dengan Indonesia (sekitar 37 orang), WN Inggris (sekitar 28 orang). Untuk mengenang tragedi ini, dibuat sebuah ‘bangunan bersejarah’ yang diberi nama Monumen Ground Zero di Legian, Kuta, Bali.

Dari kasus Bom Bali Pertama ini, aparat kepolisian menetapkan tersangka utama yang terdiri dari 4 orang, yaitu Ali Ghufron bin Nurhasyim alias Mukhlas (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Februari 1960), divonis Hukuman Mati; Amrozi bin Nurhasyim (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 05 Juni 1962), divonis Hukuman Mati; Imam Samudra alias Abdul Azis (kelahiran Serang, Banten tanggal 14 Januari 1970), divonis Hukuman Mati, dan Ali Imron bin Nurhasyim alias Ale (kelahiran Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur tanggal 02 Januari 1979), divonis Penjara Seumur Hidup. Persidangan atas diri mereka sudah berlangsung sejak 12 Mei 2003.

WTC 911

Genap setahun setelah terjadinya tragedi Bom Bali pertama, 12 Oktober 2003, diadakan peringatan, yang tidak hanya berlangsung di Bali, tetapi antara lain di Inggris. Bisa dibaca, korban Bom Bali pertama dari Inggris menduduki peringkat ketiga setelah Australia dan Indonesia, yaitu mencapai 28 orang korban. Sedangkan warga negara Amerika yang menjadi korban mencapai 7 orang (peringat ke-4).

Jack Straw

Di Inggris, Menteri Luar Negeri Jack Straw (kala itu) bergabung bersama sekitar 800 orang di Gereja St Marin, London, memperingati satu tahun tragedi Bom Bali. Peringatan setahun Bom Bali kala itu diorganisir Kelompok Korban Bom Bali (BBVG) di Inggris. Mereka selain menyanyikan himne, pembacaan puisi, menaburkan mawar putih, juga menyalakan lilin-lilin di halaman gereja, serta menerbangkan sebanyak 202 balon sebagai representasi dari korban yang meninggal. Tidak hanya Jack Straw, acara itu juga dihadiri oleh Duke of Kent sebagai wakil Ratu Inggris, dan Menteri Kebudayaan Tessa Jowell.

Pada peringatan tahun keempat tragedi Bom Bali pertama, Pangeran Charles (putra mahkota kerajaan Inggris) meresmikan tugu peringatan di St James Park, Westminster, London, Kamis (12 Okt 2006). Peresmian itu diawali dengan pembacaan sambutan oleh Menteri Negara urusan Budaya Media dan Olahraga Tessa Jowell, yang antara lain mengatakan bahwa tugu peringatan tersebut merupakan ungkapan rasa kepedihan dan kesetiakawanan.

Monumen Ground Zero

Setiap tahun, tragedi Bom Bali pertama ini diperingati tidak hanya di sekitar Monumen Ground Zero yang terletak di Legian, Kuta, tetapi juga di kantor Konsulat Australia di Denpasar. Menjelang malam 12 Oktober 2008, sekitar 100 peselancar melaksanakan peringatan serupa di Pantai Kuta, mereka melaksanakan kegiatan Peddel for Peace (dayung untuk perdamaian), pelepasan tukik dan burung merpati serta perenungan perdamaian di Pantai Kuta.

I Made Mangku Pastika

Di sekitar Monumen Ground Zero pada 12 Oktober 2008 lalu, peringatan ini ditandai dengan pemasangan lilin di sekitar monumen. Ketika itu tampak hadir Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, yang pernah menjabat sebagai Ketua Tim Investigasi peristiwa Bom Bali Satu. Sejak pagi keluarga korban dan masyarakat maupun wisatawan asing yang sedang berada di Bali menyempatkan diri mengunjungi monumen ini untuk berdoa ataupun meletakkan karangan bunga.

Dari tragedi Bom Bali pertama ini, tidak hanya berdiri sebuah monumen, tetapi juga berdiri sebuah lembaga bernama Yayasan Paguyuban Isana (Istri Suami Anak) Dewata, yang diketuai oleh Raden Supriyo Laksono (alias Sony). Melalui paguyuban ini, pemerintah memberikan tunjangan kepada keluarga korban sampai tahun ketiga setelah peristiwa ledakan terjadi. Setelah itu, sejumlah ekspatriat asal Australia yang membentuk yayasan bernama Kuta International Disaster Scholarship (KIDS), berperan membantu kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak korban bom Bali. Setiap anak dipenuhi keperluannya, seperti uang komite, SPP, buku, sepatu, dan perlengkapan lainnya. Bantuan berupa uang dari KIDS diberikan setiap enam bulan sekali, dan akan berlangsung sampai anak-anak tersebut lulus kuliah.

Bom Bali Kedua

Sedangkan Bom Bali Kedua terjadi pada hari Sabtu, tanggal 01 Oktober 2005, sekitar jam 23:00 waktu setempat, di tiga lokasi sekaligus, yaitu di Kafe Menega (Jimbaran, Bali), Kafe Nyoman (Jimbaran, Bali), dan Raja’s Bar & Rest (di Kuta Square). Dari tragedi yang menewaskan 20 orang ini, sebagian besar korban (15 orang) berasal dari Indonesia, selebihnya warga negara Australia (4 orang), serta 1 warga negara Jepang.

Bom Bali Kedua 01 Oktober 2005

Rabu 01 Oktober 2008, peringatan Bom Bali Kedua digelar di halaman Konsulat Australia di Bali, di Jl Mpu Tantular, Denpasar. Peringatan ini dihadiri oleh Konjen Australia Bruce Cowled, Konjen Jepang Eiichi Suzuki, Gubernur Bali Made Mangku Pastika, serta sekitar 20 korban dan keluarga korban Bom Bali Kedua asal Australia dan Indonesia ini, diliputi suasana hening diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Kebangsaan Australia. Kemudian diikuti dengan membacakan nama korban yang meninggal. Kemudian, satu per satu para konjen, korban dan keluarganya meletakkan bunga di altar.

Di bekas Raja’s Bar & Rest, peringatan Bom Bali Kedua berlangsung setiap tahun. Lokasi itu kini bernama Raja’s Kafe, dan menjadi toko pakaian. Karyawan Raja’s duduk melingkar, menyalakan lilin sambil memanjatkan doa.

Pada Bom Bali Kedua digunakan jenis bom melayang, yaitu bom bunuh diri yang dimasukkan ke dalam tas punggung, kemudian diledakkan, sehingga menghancurkan pelakunya. Sebenarnya pada kasus Bom Bali Pertama, modus ini juga dipraktekkan, yaitu di lokasi Paddy’s Café.

Oleh karena itu, pelaku utama Bom Bali Kedua ini, pada mulanya tidak bisa diidentifikasi, karena ia hancur bersama dengan bom yang dibawanya. Seiring perjalanan waktu, berhasil diidentifikasi salah satu pembawa bom melayang ini diduga bernama Salik Firdaus. Meski demikian, dari kasus ini berhasil ditetapkan empat terdakwa, yaitu Abdul Azis, Dwi Widiyarto, dan Anif Solchanudin, dan Mochamad Cholily. Tiga yang pertama dituntut Jaksa Penutut Umum (JPU) 10 tahun penjara, sedangkan Cholily dituntut lebih berat yaitu 15 tahun penjara karena terlibat langsung dalam bom Bali II.

Abdul Aziz, Anif Solchanudin, M. Cholily

Bila dibandingkan dengan peringatan Bom Bali Pertama, yang kedua memang kurang semarak. Mungkin karena jumlah korban tewas yang terjadi pada tragedi Bom Bali Kedua ‘hanya’ 20 orang, itu pun sebagian besar orang Indonesia sendiri. Namun demikian, masih mending bila dibandingkan dengan kasus lain yang korbannya seratus persen orang Indonesia (mayoritasnya Muslim), sebagaimana terjadi pada kasus pembantaian di Tobelo (Desember 1999-Januari 2000), dan Pesantren Walisongo (28 Mei 2000).

Meski korban pembantaian yang terjadi di Tobelo-Galela dan Pesantren Walisongo jumlahnya jauh lebih banyak dari korban Bom Bali Pertama, namun hingga kini tidak ada monumen peringatan yang didirikan di lokasi tersebut. Bahkan mungkin tidak ada paguyuban atau lembaga bantuan yang menyantuni korban di lokasi tersebut.

Bagaimana seandainya di lokasi-lokasi tempat berlangsungnya pembantaian terhadap umat Islam didirikan monumen berisikan nama-nama korban, dan dibaca setiap tahun, untuk mengingatkan kepada kita betapa kejamnya orang Kristen dan Katholik. Selain nama-nama korban, akan lebih lengkap lagi bila pada monumen peringatan itu diabadikan juga nama tokoh-tokoh yang terlibat pembantaian, termasuk Tibo cs tentunya.

...Tulisan ini bersambung ke CATATAN PERJALANAN siri 21.

Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com

Jan 2012
Bali, Ind.

Lihat sebelum ini..
E-Buku IH-47: Medan-Aceh, S'baya, Bali & T/Leste
E-Buku IH-47: Medan-Aceh, S'baya, Bali & T/Leste

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails