Thursday, September 25, 2008

Francis Netto : Tarawih Merubah Gaya Hidupku..


Ibnu Hasyim
CATATAN SANTAI:

“…PADA suatu malam di bulan Februari 1995, ketika saya di Indonesia untuk kuliah, saya duduk sendiri di lantai sembari menonton shalat Tarawih, tayangan langsung dari Mekah. Saya melihat sekitar 3-4 juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap arah yang sama, mengikuti Imam yang sama, berdoa dengan ucapan yang sama, kepada Tuhan yang sama.

Saya berfikir, mana ada peristiwa peristiwa seperti ini di negara Barat? Tidak pernah ada orang sebanyak ini berkumpul untuk menonton bola, mengikuti suatu pertandingan, atau bahkan mendengarkan Paus bicara!!!. Ini benar-benar luar biasa!!. Dan tidak ada tandingnya..” Demikian diceritakan oleh seorang penganut Kristian Katolik, melalui seseorang kepada saya.

Dia lahir dari keluarga Katolik di kota Nelson, sebuah kota kecil di Pulau Selatan, New Zealand (Selandia Baru). Menurutnya, sejak di SD, SMP, dan SMA lagi (dari sekolah rendah hingga menengah atas), dia sudah malas belajar agama secara serius, kecuali untuk mencari kekurangannya. Dia menganggap percaya agama itu, cuma buang masa saja, tanpa membawa hasil apa-apa!

Mulai saat itu dia menyangka dia sudah menemui kenyataan dan kebenaran, di mana dia sudah tidak percaya kepada Tuhan lagi (atheis). Kalau ada yang bertanya mengenai agamanya, dia akan menjawab, ‘Katolik’ saja! Setahun setelah itu, dia mula meneruskan pelajaran agamanya.. dengan cara mencermati dan mengamati ceramah agama di tv. Dia dengar serta memikirkan maknanya… Dan perlahan-lahan dia dapat ilmu agama dari berbagai macam sumber.

Hingga akhir 1996, katanya, ..saya mulai sulit untuk menolak agama Islam lagi. Semua yang ada di dalam Islam mengandung logika. Kalau kita tidak mahu mencarinya, apa boleh buat? Dengan itu, saya mengambil keputusan untuk masuk Islam. Tahun 1996 adalah kali pertama saya ikut merayakan Idul Fitri, tepatnya satu bulan setelah saya masuk Islam itu. Kebetulan sekali, saya masuk Islam bertepatan dengan bulan puasa, jadi tidak lama setelah itu, saya bisa ikut merayakan Idul Fitri bersama masyarakat Muslim Indonesia yang lain.

Berbeda dengan kebanyakan orang, saya merayakan Idul Fitri sebagai hari yang sepi. Tapi enaknya jalanan di Jakarta menjadi lengang sehingga saya bisa terbebas dari macet. Kenyataan itu disebabkan banyaknya orang Jakarta yang pulang ke kampungnya masing-masing. Tempat kos saya pun menjadi sepi, dan saya seperti kehilangan teman untuk sementara waktu. Biasanya setelah selesai menunaikan shalat Idul Fitri, saya mengunjungi rumah keluarga Ade salah satu teman saya di daerah Rawamangun.

Keluarga Ade sama artinya dengan keluarga saya. Di hari lebaran di rumah keluarga Ade biasanya ada menu spesial, iaitu ketupat dan opor ayam. Namun sebelum berkunjung ke tempat Ade, saya sempatkan untuk berkunjung ke rumah Kyai saya di daerah Tebet, namanya Masyhudi Sahid.”

Sebenarnya dia masih mempunyai keluarga di Australia. Bapaknya bernama Carlous Patterson Netto, ibu bernama Baverly Frances Smith. Kakak bernama Carl Benedict Netto, dan adik perempuannya bernama Jacinta Therese Netto. Kalau bertemu dengan mereka, katanya..

Saya sayang sama mereka! Namun, kerana mereka berbeda keyakinan agama dengan saya, bahkan telah menganggap saya sebagai orang gila sebab masuk Islam, secara automatic seolah-olah menyebabkan saya tidak pernah merindukan mereka di momen hari lebaran... Jadi kalaupun saya pulang ke Australia, itu kerana ibu menyuruh saya pulang, hanya untuk menghormati ibu saja. Kehidupan di luar negeri sana tidak seperti di sini. Kalau di sini, Hari Raya dirayakan dengan saling bertemu, bersilaturrahmi, serta saling memaafkan antara satu sama lain.

Sedangkan di negara asal saya, kalau menyambut Hari Raya, Natal misalnya, tidak ada tradisi seperti itu.. yang ada mereka mabuk semua! Keluarga saya itu, kalau merayakan Natal, dari mulai bangun pagi, mereka sudah mulai minum minuman keras, jadi jam 12 siang mereka telah teler dan tidak bisa pergi ke mana-mana, jangankan untuk bersilaturrahmi! Kebiasaan tersebut dilakukan juga ketika merayakan Tahun Baru, Paskah, pesta perkawinan, hari kemerdekaan dan lain sebagainya.”

Pokoknya, kalau liburan mereka minum-minum dan mabuk. Tradisi seperti itu sudah menjadi standard kehidupan orang barat. Tidak pernah pergi ke gereja, atau membaca al-Kitab, sudah biasa bagi mereka. Oleh kerana itu lebaran disitu, menurutnya sungguh sangat istimewa. Pernah suatu kali, bapanya menelepon mengucapkan selamat Idul Fitri. Namun, pada mereka tiada makna apa-apa, kerana mereka mengucapkan selamat tanpa mengerti bahawa Idul Fitri itu adalah momen kembali kepada kesucian diri. Tiada pemahaman begitu, memang tiada makna apa-apa..

Referensi Dariku:
Eugene Francis Netto,
Jakarta.

Begitulah kira-kira catatan santai untuk kali ini, sekadar muhasabah diri. Selamat terus berpuasa, bertarawih dan menyongsong kedatangan Hari Raya!

Catatan santai: ibnuhasyim.com
(e-mail: ibnuhasyim@gmail.com)
September25, 08. KL.

No comments:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails