Friday, July 18, 2008

Kota Medan Siapa Punya?




Ibnu Hasyim: Catatan Perjalanan

SAYA dibawa berjalan di Kota Medan. Antara tempat-tempat yang saya tak minat dibawa melawat tapi dibawa juga, ialah melihat monument Guru Patimpus.

“Siapa Guru Patimpus itu?” Saya tanya.

“Beliau adalah pembuka kota Medan ini!” Jawab teman saya itu.

Bila dlihat dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas..

Kota Medan berkembang dari sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri, yang didirikan oleh Guru Patimpus sekitar tahun 1590an. Guru Patimpus adalah seorang putera Batak Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristerikan seorang puteri Datuk Pulo Brayan. 

Dalam bahasa Batak Karo, kata ‘Guru’ bererti ‘Tabib’ ataupun ‘Orang Pintar’, kemudian kata ‘Pa’ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, sedangkan kata ‘Timpus’ bererti bundelan, bungkus, atau balut. Dengan demikian, maka nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada Monumen Guru Patimpus yang didirikan di sekitar Balai Kota Medan.’

Apa makna ‘medan’?

Menurut salah satu ‘Kamus Batak Karo-Indonesia’ oleh Darwin Prinst SH: 2002, ‘medan’ bererti ‘menjadi sehat’ ataupun ‘lebih baik’, berdasarkan Guru Patimpus adalah seorang tabib yang memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Batak Karo pada masanya. Penulis-penulis Portugis abad ke 16 menyebutkan asalnya dari nama ‘Medina’, atau dari bahasa India ‘Meiden’, dan sebutan saudagar Arab ‘median’ ertinya ‘datar’ atau ‘rata’ yang memang tanah itu begitu.

Menurut Harian Global Indonesia, 9 Julai 2006..

'Dalam ‘Riwayat Hamparan Perak’ yang dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai yang pertama kali membuka ‘desa’ yang diberi nama Medan. Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi ‘kerusuhan’ sosial, tepatnya tanggal 4 Maret 1946.

Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus. Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli.

Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan. Versi lain sejarah Kota Medan ini hanya melahirkan ketokohan Guru Patimpus dalam berdirinya Kota Medan. Versi ini tidak menghasilkan sebuah tanggal atau tahun.'

Dalam buku ‘The History of Medan’ tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dituliskan bahawa menurut ‘Hikayat Aceh’, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi Mukammil kepada Raja Haru yang berkuasa di situ. Serangan serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli.

Sejak akhir abad ke 16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke 17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar. Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga dengan kerajaan dari Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan ‘Ekspedisi Pamalayu’.

Dalam ‘Negarakertagama’, Mpu Prapanca juga menuliskan bahawa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru). Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo yang bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Ini adalah versi pertama sejarah Medan. Ertinya, tahun 1590 dianggap sebagai salah satu tonggak kelahiran kota ini. Menurut ‘Hikayat Deli’ pula, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang. Tidak lama sesudah di Aceh itu, ketika Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan 7 lelaki dari Kaisar Romawi Timur yang membuat kacau, Dalik berjaya membunuh pengacau tersebut satu persatu.

Sebagai penghargaannya, Sultan memberinya gelar Laksamana ‘Kud Bintan’ dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai kejayaan dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai ‘Gocah Pahlawan’, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisa-sisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bahagian dari Kesultanan Aceh.

Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M. Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka. Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan.

Nama Deli sesungguhnya muncul dalam ‘Daghregister’ VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India. Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil hamba. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus.

Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4,000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda.

Menurut bahasa Melayu, ‘medan’ bererti tempat berkumpul, kerana sejak zaman kuno di situ sudah merupakan tempat bertemunya masyarakat dari hamparan Perak, Sukapiring, dan lainnya untuk berdagang, berjudi, dan sebagainya. Desa Medan dikelilingi berbagai desa lain seperti Kesawan, Binuang, Tebing Tinggi, dan Merbau. Melihat sekilas sejarah Kota Medan, jelas bahawa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun.

Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, mahupun Jawa. Hingga kini, Medan yang bererti ‘tempat berkumpul’ tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda.

Oleh itu siapa sebenarnya yang memiliki kota Medan ini? Pada saya, ada beberapa perkara perlu diberi perhatian:

Pertama:

Medan adalah kota seluas 265.10 km persegi, dalam 21 kecamataan dengan penduduknya berjumlah 2,036,016 jiwa (kepadatan 7.681/km per) mengikut banci 2005, terdiri dari suku Melayu Medan, Batak, Jawa dan berbangsa Cina, India juga Minang, yang beragama Islam, Kristen, Buddha atau Hindu. Dikatakan, majoriti penduduk kota Medan sekarang adalah suku Jawa dan Batak, terdapat ramai juga orang keturunan India juga Cina (kaum Cina sekitar 25%). Secara historis, pada tahun 1918 tercatat Medan dihuni 43,826 jiwa.

Dari jumlah tersebut, 409 orang berketurunan Eropah, 35,009 berketurunan Indonesia, 8,269 berketurunan Cina, dan 139 berasal dari ras Timur lainnya. Ke anekaragaman etnik dan jumlahnya itu boleh dilihat dari jumlah masjid, gereja dan vihara Cina seluruh kota, umpamanya di daerah sekitar Jalan Zainul Arifin bahkan dikenal sebagai Kampung Keling (Kampung India). Bahkan melihat kepada jumlah penduduk Islam di Indonesia (dari berbagai versi) adalah antara 60-90%, jelas bahawa majoriti penduduk Medan juga adalah beragama Islam yang terdiri dari berbagai kaum dan suku.

Kedua:

Melihat kepada nama-nama 14 nama Walikota Medan bermula dari 3 Oktober 1945 hingga kini, iaitu Luat Seriger, M.Yusuf, Djaidin Purba, AM Jalaludin, Muda Siregar, Madja Purba, Basyrah Lubis, PR Telaumbanua, Aminurrasyid, Sjoerkani, AM Saleh Arifin, HAS Rangkuti, Bachtiar Djafar dan yang terakhir Abdillah, yang hampir semuanya baragama Islam, maka kekuasaan melantik dengan kehendak rakyat adalah dimiliki oleh umat Islam. Bahkan Gabernor Sumatera Utara dan wakilnya, (kota Medan berada di dalamnya) yang baru dilantik kini pun beragama Islam, ada yang dari parti Islam atau didokong oleh parti Islam.

Ketiga:

Melihat kepada Guru Patimpus sendiri, kini sudah didedahkan sebagai seorang Islam, menambahkan kuatnya lagi bukti bahawa Kota Medan yang dikenali sebagai kota kaum Batak adalah kota milik umat Islam. Tokoh-tokoh yang diangkat sebagai 8 tokoh terkenal berasal dari Kota Medan antara lain, pujangga Chairil Anwar & Tengku Amir Hamzah, Amir Sjarifuddin Perdana Menteri Indonesia ke 2, Burhanuddin Harahab Perdana Menteri Indonesia ke 9, Soegirto Menteri Negara BUMN di Kabinet Indonesia Bersatu, Guru Patimpus Sembiring Pelawi pendiri kota Medan, Let Jend Djamin Ginting mantan Panglima Kodam I/BB dan Djaga Sembiring Depari komponis Karo, adalah hampir semuanya juga beragama Islam.

“Maka, sudah jelas, kota Medan adalah milik umat Islam.”

“Tapi kenapa kau macam tak nak saja menziarah monument Guru Patimpus ini?” Kawanku tak puas hati dengan sikap saya itu.

“Memang elok kita mengingatinya, tapi bukan dengan cara menziarahi dan menghormati patungnya, walaupun beliau orang Islam. Kalau boleh, tentu Nabi Muhammad SAW sendiri lebih layak dipatungkan…”

Ibnu Hasyim
Masjid Raya, Medan.
Julai 08.
ibnuhasyim.com (e-mail: ibnuhasyim@gmail.com)

Lihat.. 
E-Buku IH-8: 'Medan-Tanjung Balai'
E-Buku IH-8: 'Medan-Tanjung Balai'

7 comments:

Anonymous said...

Aku sokong pendapat Ibnu Hasyim. Sepatutnya sudah lama Indonesia jadi negara Islam yang melaksanakan perundangan Islam termasuk politik Islam.

Apalagi penduduknya 90% Islam, dan negara ke-4 teramai di dunia. Tunggu apa lagi, wahai pemimpin-pemimpin Islam Indonesia?

Laksanakan Islam sepenuhnya, pasti Indonesia akan lebih hebat dari negara-negara Arab, walaupun dari Saudi yang sudah jadi talibarut Amerika.

Lebih hebat dari Malaysia yang penduduk Islam hampir sama banyak dengan orang bukan Islam, bahkan juga jadi barua Amerika. Lihat dalam kes Pulau Batu Putih, dan amaran Amerika cuba campurtangan dalam politik Malaysia.

Ada harapan Indonesia akan jadi kuasa besar dunia, jika memiliki teknologi nukeliar...

Abu Seman.
Anak Turunan
Indon-Malaysia.

Anonymous said...

Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam.

Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang dmeikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.

Makna Politik Islam

Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).

Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.

Hakikat Politik Islam

Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.

Dilema Politik Islam

Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya.

Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.

Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.

Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.

Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".

Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam.

Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.

Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.

Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.

Problema Politik Islam

Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.

Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya.

Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.

Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.

Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.

Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.

Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.

Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.

Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.

Perubahan Politik Islam

Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an.

Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.

Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.

Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.

Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.

Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.

Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.

Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.

Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.

Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia.

Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".

Kesimpulan

Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.

Referensi:

1. Repolitisasi Islam, Bakhtiar Effendy
2. Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
3. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin
4. Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi


M.Rozi T.B (sebelum Pemilu 2004)

Anonymous said...

Pengalaman konkret historis manusia menyeret mereka pada penyesuaian-penyesuaian ekspresi peradaban dunia. Hal ini menjadi pertanda bagi segenap manusia, bahwa mereka ditutut untuk senantiasa berubah atau mengikuti perubahan. Sejak lama – berjuta-juta abad yang lampau – pada awalnya manusia dihadapkan pada berbagai macam perubahan aktual alam semesta di mana dia hidup. Lambat laun, respon atas fenomena alam ini bertransformasi menjadi sikap mengatasi perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara umat manusia, yang mengubah cara dan kebiasaan hidup mereka. Hal ini terus berkembang secara evolutif sekaligus revolutif, hingga sampai pada diketemukannya model pelembagaan pengaturan masyarakat dalam bingkai negara, beserta ilmu yang menyertainya, politik. Perubahan-perubahan tersebut juga berlaku pada institusi transenden, yakni agama, yang sejatinya secara dogmatis dipahami oleh para penganutnya memiliki Kebenaran Absolut. Pun demikian, pemahaman atas klaim kebenaran absolut ini ternyata sedikitnya terpaksa harus bergeser sehingga memungkinkan adanya ruang-ruang untuk perubahan di dalamnya. Terlebih ketika agama dilamar oleh negara maka kebutuhan atas penerimaan ide-ide perubahan pun semakin berjalin-berkelindan, dikarenakan adanya semacam rivalitas sekaligus kolegitas antara agama dan negara. Diskursus antara negara teokrasi dengan sekular merupakan salah satu ekspresi hal tersebut.
Terkait dengan persoalan ini, diskursus relasi antara agama – dalam hal ini Islam – dengan negara menjadi menarik. Diskursus Islam dan negara sepertinya dapat dipahami melalui pendekatan di atas. Sebuah pendekatan yang berdasar pada ajaran akan perubahan yang selalu ada dalam kehidupan manusia. Perubahan yang mengarah pada masa depan yang lebih baik. Atau dengan kata lain, modernisasi. Modernisasi juga bagaimana pun pernah secara intens “bermesraan” dengan satu istilah lainnya, yaitu pembangunan (developmentalisme). Keduanya pernah merubah wajah politik dunia menjadi sangat optimistik, walaupun belakangan banyak pula pengkritiknya yang menyebutkan bahwa keduanya tidak benar-benar menjadi solusi general bagi setiap negara-negara di dunia. Namun bagaimana pun, politik Islam menjadi penting untuk dikenali melalui pendekatan teori-teori pembangunan. Karena toh, Islam tentu saja sangat menyetujui usaha-usaha perubahan ke arah yang lebih baik dalam pengalaman konkret manusia.

Tulisan ini ingin mencoba menyaksikan – baik secara konseptual maupun secara aktual – bagaimana sebuah pemahaman atas politik Islam melalui pendekatan teori pembangunan dapat terbentuk. Bagian-bagian tulisan selanjutnya akan dimulai dengan sedikit singgungan teori-teori pembangunan dalam tradisi teori politik kontemporer. Bagian selanjutnya bermaksud memaknai arti pembangunan dalam politik Islam. Sedangkan bagian terakhir – sebelum ditutup – akan melihat konteks politik Islam di Indonesia sebagai salah satu region yang pernah sangat dekat dengan pengalaman pendekatan pembangunan untuk melakukan pengaturan kenegaraan semasa Orde Baru.

A. Beberapa Teori Pembangunan
Banyak pertimbangan berkaitan dengan teori-teori pembangunan, di antara identifikasi simplistik tentang teori-teori ini biasa mengikutsertakan beberapa pelabelan, antara lain: imperialisme, modernisasi, neo-marxis dan bentuk produksi. Teori Imperialisme mencoba menjelaskan struktur dunia modern dalam tema perjuangan di antara kekuasaan besar untuk menemukan pasar baru, sumber-sumber bahan mentah, kesempatan investasi, dan untuk meluaskan pengaruh politis dan kultural. Hal ini meletakkan pentingnya ekspansi kapitalis pada pusat teori tersebut. Teori modernsisasi secara luas berdasar pada distingsi di antara tradisional dan modern. Ide utama dari teori ini adalah bahwa pembangunan meliputi sekitar pertanyaan atas sikap dan nilai (lebih dari kepentingan material berkaitan dengan ekspansi kapitalis). Masyarakat tradisional dijalankan dengan pemikiran individu yang tradisional, ditandai mereka yang melihat ke dalam (inward-looking), tidak siap berinovasi, dan dipengarhi oleh magis dan agama; sementara masyarakat modern dijalankan dengan pemikiran individu yang modern, melihat ke luar (outward-looking), terbiasa mencoba hal yang baru, dipengaruhi oleh pemikiran rasional dan pengalaman praktis. Teori neo-marxis salah satunya adalah metateori ketergantungan (dependency metatheory). Metateori ketergantungan diciptakan oleh sebuah kelompok peneliti sosial di Amerika Latin. Selama beberapa dekade akhir, konsepsi tunggal neo-marxis yang paling berpengaruh dalam sistem global adalah metateori ketergantungan. Selain itu, akan berguna jika kita membedakan tiga teori yang berkaitan dengan metateori. Mereka adalah teori under pembangunan, teori pembangunan dependen, dan dependensi reversal.
Lucian Pye menekankan pembangunan sebagai penguatan nilai-nilai dan praktek-praktek demokrasi kapitalis Barat. Ia merujuk pembangunan politik sebagai pembangunan institusi dan pembangunan warga negara; mobilisasi dan partisiasi massa adalah esensi demokrasi dan orde. Yang melekat dalam rujukan pada demokrasi adalah muatan nilai dan asumsi-asumsi berorientasi Barat, dan dengan demikian, perhatian lebih kepada pembangunan, dan bukannya demokrasi.
Pye oleh karenanya, menduga bahwa pembangunan tanpa suatu proses demokrasi maka pembangunan intusisi dan pembangunan warga negara serta mobilisasi dan partisipasi massa akan tersendat. Kiblat Pye yang sangat Westernis itu tentu perlu dicermati lebih lanjut bila ingin diadaptasi oleh negara-negara lain yang kebetulan belum menerapkan sistem demokrasi .
W. W. Rostow, dalam Stages of Economic Growth; A Non Communist Manifesto, menunjukkan lima garis tahap yang terdiri dari lima tahap: 1) Masyarakat Tradisional, 2) Prakondisi untuk Tinggal Landas, 3). Tinggal Landas, 4) Bergerak menuju Kematangan, dan 5) Konsumsi Massal Tinggi. Tapi satu dekade kemudian dia menambahkan tahap terakhir: 6) Pencarian Kualitas.
A.F.K. Organski, dalam Stages of Political Development, menyebutkan empat tahap: 1) Penyatuan Nasional Primitif, 2) Industrialisasi, 3) Kesejahteraan Nasional, 4) Kelimpahan.
Nampaknya, ide-ide mereka berkutat pada asumsi gerak maju linear perubahan. Bahwa, keterbelakangan haruslah dirubah menjadi kemajuan. Kendati pun ternyata kemajuan ini secara parsial ditafsirkan hanya oleh mereka.
Huntington dan Nelson, pernah menguji tingkat partisipasi dalam hubungannya dengan lima model pembangunan. Model liberal, berasumsi bahwa modernisasi dan pembangunan akan memajukan kondisi-kondisi material masyarakat dan mengoreksi ketidakmerataan, kekerasan dan kurangnya partisipasi demokrasi sebagaimana yang diketemukan dalam masyarakat terbelakang. Model borjuis memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan politik suatu kelas menengah yang sedang tumbuh, di mana tuntutan-tuntutannya berpusat pada pertumbuhan akonomi perkotaan dan pengembangan institusi-institusi pemilihan umum dan legislatif. Model otokratis menuntut bahwa kewenangan pemerintah dapat menggunakan kekuasaan negara untuk menekan partisipasi kelas menengah dan mengamankan dukungan kelas-kelas yang lebih rendah. Model teknokratis dicirikan oleh rendahnya partisipasi politik dan tinginya investasi asing. Sebaliknya, model populis menekankan tingginya partisipasi politik maupun pemerataan ekonomi.

B. Pembangunan dalam Politik Islam
Donald Eugene Smith mencoba melakukan sebuah pendekatan pembangunan dalam tradisi politik Islam. Ia bertumpu pada tesis bahwa Islam yang di dalamnya terdapat sistem organik-historis membutuhkan kajian yang lebih hati-hati dalam mendekati lewat teori pembangunan.
Historisitas Islam terlihat pada wahyu Al-Qur’an yang bersifat progresif, yang melihat Nabi-nabi sebelum Muhammad disiapkan untuk menyambut munculnya Nabi Muhammad. Kandungan Al-Qur’an menuntut semua orang untuk beriman dan beramal shalaeh, namun amal shaleh berarti membangun suatu tatanan sosial di muka bumi dan tepat pda saat diperlukan (sejarah). Corak agama Islam yang organik juga tampak dengan jelas sekali. Islam pada masa-masa pertama, benar-benar satu kesatuan religio politik yang terpadu. Hukum Islam menjangkau semua aspek kehidupan.
Sebagai sistem agama yang berstruktur organik, Islam tidak memiliki bentuk organisasi keagamaan yang dapat melakukan perumusan kembali ajaran sosialnya secara sistematik, namun sebagai sistem agama yang bercorak historis, Islam memberikan inspirasi dan perpektif-perspektif untuk mengembangkan suatu ideologi tentang perubahan sosial.
Smith juga beranggapan bahwa sekularisasi bisa menimbulkan masalah dalam pembangunan. Sekularisasi menurutnya telah mengikis dan menyerang langsung sistem organik Islam dalam bidang hukum yang sangat mendasar itu. Ditakutkan, juridiksi syari’ah atau hukum Islam semakin lama semakin mengecil. Sebagai contoh yakni di negara Turki. Pun demikian, sebetulnya di banyak negara Islam, syari’ah mendapatkan tempatnya tersendiri dalam hukum positif, seperti dalam hukum perkawinan dan perceraian.
Tentang sekularisasi ini, penulis melihat bahwa justru dengan itulah, maka umat Islam dapat secara optimal melakukan pembangunan dan menata peradaban lebih baik dari pada sebelumnya. Bahkan dapat penulis katakan bahwa tanpa sekularisasi atau pun sekularisme, maka pembangunan umat Islam akan senantiasa terbentur pada otokrasi pemerintahan agama yang secara hegemonik menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Dengan sekularisme, maka umat Islam dapat secara objektif melakukan pembangunan peradaban mereka. Hanya saja, hambatannya adalah keengganan yang ada pada umat Islam sendiri untuk mengakui secara jujur bahwa sekularisme memang dibutuhkan untuk itu. Sehingga hal itu menjadi seperti momok tersendiri dalam upaya menegaskan pembangunan.
Harus pula diingat bahwa umat Islam memiliki nilai agama dan budaya politik yang sangat potensial untuk menegaskan pembangunan. Di satu sisi, nilai-nilai Islam yang berasal dari otoritas dogmatis yang memiliki kebenaran absolut, mengajarkan nilai-nilai yang sangat otoriter. Dengan begitu, nilai-nilai ini mempengaruhi budaya politik umat sehingga mereka terbiasa menerima sebuah rejim otoriter. Akan tetapi, di sisi lain, Islam juga menampilkan nilai-nilai yang sangat egaliter, terutama dalam praktek-praktek keagamaan. Semestinya, nilai-nilai egalitarianisme ini sanggup mempengaruhi budaya politik umat sehingga menjadi lebih partisipan lagi. Budaya politik partisipan inilah yang akan membari efek posisitif bagi pembangunan.
Di beberapa negara Islam, partai-partai politik Islam sangat berpengaruh dalam mempengaruhi penerimaan akan pembangunan. Pandangan ideologis yang dianut oleh partai-partai tersebut menyebabkan partai-partai itu terbagi ke dalam kelompok-kelompok tradisionalis dan modernis. Keragaman ini sekaligus menjadi modal yang penting untuk memasuki alam pembangunan.

C. Konteks Pembangunan Indonesia
Secara eksplisit konteks politik Indonesia yang dianggap paling absah dan paling akrab memiliki terma pembangunan adalah rejim Orde Baru. Seperti terungkap dalam terma-terma Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Pembangunan Lima Tahun (Pelita), dan sebagainya. Eksplisitas ini memang dirasakan sangat mencolok dalam pengalaman politik Indonesia. Bagaimana tidak, Orde Baru yang pada masanya dipimpin oleh Soeharto telah memimpin selama 32 tahun. Sebuah masa yang cukup untuk mematri dalam setiap benak masyarakat Indonesia pada zamannya, bahwa ia adalah Bapak Pembangunan Nasional. Terlepas dari apakah Orde Baru benar-benar telah melakukan sesuatu ataukah tidak untuk membangun Indonesia.
Cita State Building yang dikemukakan oleh Francis Fukuyama tentulah mengingatkan kita pada Orde politik Indonesia ini. Rizal Malarangeng menambahkan bahwa State Building Fukuyama ini harus tetap dipelihara bersamaan dengan kebijakan pro-pasar yang merupakan aspirasi kaum liberal. Fukuyama berangkat pada kegelisahannya tentang negara lemah dan gagal, terutama pasca perang dingin. Ia mengingatkan bahwa state building sangat penting dikarenakan negara lemah dan gagal adalah sumber dari berbagai persoalan dunia yang sangat serius, mulai dari kemiskinan, AIDS, obat bius, hingga terorisme. Secara tersirat Fukuyama nampaknya sangat tertarik untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana caranya memindahkan lambaga-lembaga kuat ke negara-negara berkembang”. Sepertinya, selama beberapa lama, gagasan pembangunan memang kesulitan menjawab pertanyaan seperti itu. Artinya, persoalan negara-negara lemah dan gagal ini menjadi persoalan internasional, seperti yang diungkapkan Fukuyama sendiri.
Demikianlah juga yang terjadi di Indonesia. Proyek pembangunan Indonesia akhirnya lebih terasa sebagai pengaruh asing dari pada aspirasi masyarakat Indonesia sendiri. Karena, bagaimana pun Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) mewabah di hampir setiap level kenegaraan dan pengaturan masyarakat. Kapitalisasi aset-aset negara menjauhkan Orde Baru dari aspirasi politik masyarakatnya.
Terkait dengan ini, umat Islam Indonesia, sebagai penduduk yang merupakan mayoritas, juga mengalami pasang surut hubungan dengan Orde Baru. Misalnya, kasus Astung (Asas Tunggal) Pancasila yang mensabotase aspirasi politik Islam Indonesia sekaligus menggunting demokrasi di Indonesia. Tetapi di lain waktu, Orde Baru juga merayu umat Islam dengan antara lain: pembentukan ICMI, Departemen Agama, UU Perkawinan, dan seterusnya. Namun, perlakuan Orde Baru memang sudah kelewat batas. Kekerasan politik Orde Baru kadung akrab juga dialami oleh umat Islam, contohnya kasus Tanjung Priuk.
Represifitas Orde Baru itu memang landasan politiknya cukup kuat. Ideologi pembangunan membutuhkan stabilitas politik melebihi kebutuhan akan akomodasi aspirasi politik masyarakat. Ditambah lagi dengan ambisi-ambisi pribadi atas materi dan posisi.
Jika kita menggunakan pendekatan teori-teori pembangunan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dalam istilah Rostow, Orde Baru masih berada dalam tahap Tinggal Landas. Sedangkan dalam istilah Organski, Orde Baru baru sebatas tahap industrialisasi. Artinya, jaminan kesejahteraan rakyat sesungguhnya masih jauh panggang dari api. Hal ini lebih nyata terlihat misalnya pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang hebat, sehingga kesejahteraan semu yang sempat dicicipi semasa Orde Baru langsung menguap begitu saja, nyaris tanpa bekas.
Jika kita menggunakan model yang diistilahkan oleh Huntington dan Nelson, maka kita akan temui bahwa model yang digunakan Orde Baru adalah model otokratis, di mana kewenangan pemerintah dapat menggunakan kekuasaan negara untuk menekan partisipasi kelas menengah dan mengamankan dukungan kelas-kelas yang lebih rendah. Begitulah, dengan model seperti ini, maka Orde Baru selama tiga dekade lebih telah salah langkah. Mereka nampaknya terlalu terfokus pada bagaimana memanfaatkan kekuasaan untuk memperluas kekuasaan sekaligus dalam waktu bersamaan memperkaya diri dan kelompok pribadi dengan mengeruk kekayaan negara.
Adapun politik Islam, keberadaannya dalam pentas politik nasional tampak tidak terlalu memperlihatkan prestasi yang signifikan. Hal ini tentunya juga disebabkan sistem politik yang korup yang sengaja diciptakan rejim Orde Baru guna menghegemoni arus politik Indonesia. Ke mana politik ini mengalir? Tentu saja menuju ABRI, birokrasi dan Golongan Karya yang merupakan pengejawantahan sekjaligus instrumen politik Orde Baru.
Kekalahan pengaruh politik Islam di pentas politik Indonesia masa Orde Baru sepertinya juga dipengaruhi oleh buruknya kualitas hidup umat Islam. Kesenjangan antara si Kaya dan si Miskin (umat Islam) terlampau jauh. Dengan begitu, umat Islam cukup pragmatis untuk mengakui kekalahan secara bijaksana dan menerima pundi-pundi bantuan atau tetesan-tetesan keuntungan kapitalisme dari rejim Orde Baru.

Penutup
Konteks politik Islam Indonesia masa Orde Baru memang meningalkan kesan menadalam sekaligus menyakitkan bagi sebagian besar umat Islam. Kekalahan telak namun diterima secara bijak – karena terpaksa – oleh umat Islam terasa seperti duri dalam daging. Politik Islam seolah-olah terjepit di antara otoritarianisme Orde Baru dan kepentingan Kapitalis Internasional, sehingga hampir kehabisan nafas sebelum akhirnya reformasi meletus.

Tags: politik, politik islam, politik indonesia, indonesia, bahrul haq, teori pembangunan, pembangunan
Prev: Pluralisme: Hidup Damai Milik Dawam Rahardjo
Next: Budhy Munawar Rachman:Teologi Pluralisme di Persimpangan Jalan
reply share

Anonymous said...

Jangan banyak sangat teori, yang penting praktikkan dan beri kemenangan kepada partai yang hendak melaksanakan perundangan Islam.

Ingat kejayaan Islam bukan kerana majoriti atau minoriti umatanya.

Maaf, cuma ingatan.

Anonymous said...

Pak Ibnu,

Bila nak balik Malaysia? Kalau balik sila singgah ke P.Pg lama tak jumpa.

Nak dengar cerita Pulau Perlis di Indon.

Kami tunggu, sila beritahu..

din tanjung..

Anonymous said...

Mufti Perlis tegur Pak Lah letak kalungan bunga Tugu Peringatan
01-08-2008 06:42:21 PM
Oleh ZIEMAN

PETALING JAYA: Perbuatan bertafakur, meletakkan kalungan bunga atau tabik hormat yang dilakukan untuk Tugu Negara adalah bercanggah dengan prinsip-prinsip akidah Islam yang anti kepada sebarang unsur keberhalaan.

Mufti Perlis, Dr Asri Zainul Abidin membuat kenyataan ini ketika mengulas tentang istiadat meletak kalungan bunga di Tugu Peringatan Negara sempena sambutan Hari Pahlawan semalam yang dilakukan oleh Perdana Menteri, Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi.

Abdullah memulakan upacara meletakkan kalungan bunga itu, diikuti Panglima Angkatan Tentera, Jeneral Tan Sri Abdul Aziz Zainal; Ketua Polis Negara, Tan Sri Musa Hassan; Panglima Tentera Darat, Jeneral Tan Sri Muhammad Ismail Jamaluddin; Panglima Tentera Laut, Laksamana Datuk Abdul Aziz Jaafar dan Panglima Tentera Udara, Jeneral Tan Sri Azizan Ariffin.

Terdahulu, Abdullah menerima tabik hormat dan memeriksa kawalan penghormatan membabitkan 103 anggota dan pegawai Askar Melayu Diraja.

“Perbuatan mana-mana individu muslim sama ada pemimpin atau rakyat yang meletakkan kalungan bunga, tabik hormat dan bertafakur yang dilakukan untuk Tugu Negara adalah bercanggah dengan prinsip-prinsip akidah Islam yang anti kepada sebarang unsur keberhalaan," jelas Dr Asri.

Kata beliau lagi, perbuatan seperti itu seakan menjadikan tugu berkenaan berhala yang dihormati.

"Sekiranya pun pelakunya tidak mempunyai sebarang iktikad bahawa itu semua memberi manfaat dan mudarat, maka perbuatan itu adalah sia-sia dan bodoh. Ia tetap haram kerana meniru perbuatan musyrikin," jelas Dr Asri.

Menurut Dr Asri, jika pelaku beriktikad itu memberikan kemanfaatan kepada keamanan, kedamaian ruh mereka yang telah meninggal dunia, maka itu adalah perbuatan syirik yang jelas.

"Akidah Islam menentang sebarang unsur keberhalaan. Pemimpin atau sesiapa sahaja yang terlibat dalam perbuatan ini hendaklah bertaubat kepada Allah dan kembali kepada akidah Islam yang sebenar," katanya.

Firman Allah: (maksudnya) “Dan demi sesungguhnya, Kami telah memberi kepada Ibrahim sebelum itu jalan yang benar (dalam bertauhid), dan Kami mengetahui akan halnya. Ketika dia berkata kepada bapanya dan kaumnya: “Apakah patung-patung ini yang kamu berdiri di hadapannya (memujanya)? Mereka menjawab: “Kami dapati datuk nenek kami selalu menyembahnya. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan datuk-nenek kamu adalah dalam kesesatan yang nyata”. (Surah al-Anbiya 50-54)”

Perbuatan menyempurnakan istiadat meletak kalungan bunga di Tugu Peringatan Negara ini juga difahamkan melanggar Fatwa Mufti (Edisi 2008).

Di bawah SubSeksyen 36(1) Enakmen Pentadbiran Undang-Undang Islam 1991 setelah diluluskan oleh Jawatankuasa Perundingan Hukum Syarak mengikut SubSeksyen 39(6) Enakmen menyatakan, " Meletakkan kalungan bunga di Tugu Negara sempena upacara sambutan Hari Pahlawan dan upacara-upacara lain adalah haram dan hendaklah ditinggalkan"

Anonymous said...

Indonesia tidak akan pernah menjadi negara Islam.
Bila hal itu terjadi, maka tidak akan ada lagi Republik Indonesia.

Ya, memang Indonesia mayoritas Islam sekitar 80% dari total penduduk ndonesia.
Tapi jangan Anda pikir akan mudah mengubahnya.
Di Papua, mayoritas Kristen.
Sulawesi Utara, mayoritas Kristen.
Nusa Tenggara Timur, mayoritas Kristen.
Bali, mayoritas Hindu.
Sumatera Utara, Muslim : Kristen = 50% : 45%

Jadi, bentuk Indonesia akan tetap menjadi Negara Kesatuan Republk Indonesia.
Itu adalah harga mati dan cita2 para pejuang negara ini dahulu kala.

Thats all

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails