Friday, August 26, 2011

Solusi Perang Agama Di Ambon..


Kota Ambon adalah ibu kota provinsi Maluku, Indonesia.
Ambon menjadi medan perang.
Seorang Ibu melintasi garis perbatasan saat kerusuhan di Ambon. Foto : Indonesia in Soeharto’s years

Catatan Perjalanan bersama Dr Mujahid, Medan 6..

MERUJUK catatan sebelum ini 'Bagaimana Kerukunan Beragama Dlm Kes Ambon?' apakah benar Orang Islam Ambon didakwa sebagai pendatang? Dan Islam dipandang sebagai agama asing, bukan agama penduduk asli di situ?

Padahal, kalau kita mahu jujur pada sejarah, ternyata Islamlah agama yang lebih awal datang ke Ambon daripada Katholik atau Protestan yang dibawa penjajah Portugis dan Belanda. Dan harus dicatat bahawa Islam telah berhasil meletakkan fondasi kebudayaan Ambon dengan nuansa Islami sekarang

Bangsa Eropah yang pertama sekali datang ke Maluku adalah Portugis (1511). Selain mengeruk kekayaan alamnya, mereka juga memperkenalkan agama Kristian. Pada tahun 1605 Belanda yang menganut Kristian Protestan merebut benteng Portugis dan mengusirnya. Ketika terjadi perang reformasi di Eropah, orang Belanda yang Protestan memerangi dan membasmi orang-orang Portugis yang Khatolik. Kerana itu, sampai tahun 1950 agama Protestan menjadi dominan di Ambon.

Tetapi sejarah membuktikan, Namun, Islam jauh lebih dahulu berkembang di Ambon. Islam mulai masuk ke daerah ini sejak abad ke 7. Sedangkan Khatolik abad ke 16. Protestan abad 17. Jadi yang meletakkan budaya kehidupan Maluku sebenarnya adalah Islam. Sayangnya, dalam sejarah yang ditulis 'Belanda', hubungan Arab-Indonesia pada abad-abad awal dihilangkan. Seolah-olah Hindu dan China lebih dahulu yang datang ke Maluku. Padahal Thomas Arnold dalam buku The Preaching of Islam, menjelaskan, yang masuk lebih awal adalah bangsa Arab.

Nama Maluku sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yakni al-muluk. Atau nama Surah A-Muluk dalam Al-Quran, kitab anutan umat Islam. Nama bernuansa Arab itu berlaku disebabkan, yang membuat peta daerah Maluku itu sendiri adalah para sarjana geografi Arab. Tetapi setelah Belanda masuk, kata tersebut dirubah menjadi Maluku. Di Maluku, sebelum kedatangan bangsa Eropah, Islam berkembang pesat, kerajaan Islam berdiri tegar, seperti Ternate, Tidore. Jadi Islam sebenarnya bukan agama baru di Maluku. Sejak abad 7-11 Maluku sangat ramai dikunjungi saudagar-saudagar Arab, Persia dan Gujarat. Selain berdagang mereka juga menyebarkan Islam sampai kepada raja-raja Maluku.

Pada abad XV di bawah pengaruh Sultan Ternate, Tidore dan Hitu, Islam berkembang dengan pesat pada hampir seluruh pulau-pulau Maluku. Islam masuk dengan jalan damai, dan penuh kesejukan, tanpa kekerasan. Dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahawa selama menjajah, Belanda juga menyebarkan agama Kristen, sebagaimana pedagang Arab menyebarkan Islam. Penduduk Ambon yang mahu memeluk Kristian mendapat perlakuan istimewa dari Kolonial Belanda. Mereka lebih berkesempatan dalam pendidikan dan lowongan kerja sebagai tentara dan pegawai Belanda.

Berdasarkan sejarah di atas, dapat diketahui bahawa masyarakat Maluku sudah lama terintegrasi dalam sistem politik Belanda. Sejak itu beribu-ribu orang Ambon Nasrani meninggalkan kampung halaman untuk bekerja sebagai tentera ataupun awam, di seluruh nusantara. Mereka digunakan sebagai serdadu Kolonial dalam menguasai wilayah-wilayah nusantara yang belum ditaklukkan. Pengalaman penyerbuan Belanda ke Aceh pada 1873 adalah dari pengalaman orang-orang Ambon yang terpedaya oleh penjajah.

Pengalaman ini mengubah suasana terjajah Ambon Kristian yang mengeksploitasi habis-habisan di bawah monopoli rempah-rempah, menjadi orang yang bersekutu dengan Belanda. Secara ideologis, akibat kedudukan istimewa ini, orang Nasrani Kristian merasa mempunyai hubungan khas dengan Belanda. Kerana mempunyai kesamaan agama dan tugas, teristimewa kemiliteran (Richard Chauvel, dalam Audrey Kahin, 1985: 244).

Bila orang-orang Ambon Nashara ikut dalam usaha-usaha kolonial, maka umat Islam Ambon tidak mau ikut serta dalam usaha tersebut. Selain kerana Belanda tidak merekrut mereka, umat Islam juga memang tidak mahu bersekongkol dengan penjajah zalim. Kerana itu umat Islam tidak mahu memasuki pendidikan militer Belanda. Maka tidak aneh, sampai tahun 1920-an di desa-desa Islam tidak ada fasiliti pendidikan sekuler. Maka wajar, jika hasil sensus 1950 menunjukkan bahwa 90% umat Islam masih buta huruf, kerana diskriminasi tersebut.

Jadi, pengalaman orang Ambon Nashara berbeda sekali dengan pengalaman Ambon Muslim.
Orang-orang Nashara dengan bantuan pendidikan Belanda mendominasi masyarakat Ambon sedemikian rupa, sehingga banyak orang menyangka bahawa Ambon adalah daerah Kristian semata. Maka wajar, jika masyarakat Ambon kemudian menganggap Belanda bukan sebagai penjajah. Hal inilah menurut Chauvel, yang mengakibatkan proklamasi Kemerdekaan RI 1945, tidak banyak mendapat sambutan di sana.

Pada 24 April 1950 Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) yang melakukan aksi politiknya secara kekerasan. Hubungan Islam-Nasrani yang demikian tegang, diperkuat oleh kenyataan bahawa para pemimpin awam RMS berikut serdadunya yang semua terdiri dari orang-orang Nashara. Sementara korban para serdadu itu banyak orang Islam. Ketakutan ini beralasan, kerana menurut catatan Coorly (1968: 267) jumlah umat Islam terus meningkat yang sebelumnya sekitar 35% menjadi 49% di awal Orde Baru.

Perkembangan ini dianggap sebagai ancaman bagi Kristian di sana. Kerana itu, ketika kerusuhan terjadi tidak mengherankan jika bendera RMS dinaikkan di berbagai tempat. Kembali kepada persoalan nasib tertinggalnya umat Islam di zaman penjajahan Belanda. Era kemerdekaan RI 1945 merupakan angin segar dan nafas baru bagi umat Islam Ambon untuk mulai berkembang. Secara perlahan ekonomi Islam membaik dan pendidikan semakin meningkat. Pada awal Orde Baru beberapa sarjana Muslim mulai menduduki posisi-posisi penting di Ambon, meskipun belum dominan.

Baru pasca 1970, banyak putera daerah (penduduk asli) yang Muslim, menduduki jabatan-jabatan strategis mulai dari tingkat propinsi Maluku hingga kecamatan secara adil bukan dominatif. Perkembangan Islam yang pesat dalam politik, pendidikan dan ekonomi ini , dianggap sebagai ancaman. Ketika era reformasi dianggap semakin mengarah kepada penguatan pengaruh Muslim, maka kerusuhan dan pembersihan etnispun tidak dapat dielakkan.

Kepada kawan saya yang baru saya kenal di atas kapal itu, seorang pemimpin kaum Batak dari Ambarita, yang bertanya saya mengenai konflik Ambon, saya katakan...

"Maaf tuan, saya belum pernah ke Ambon lagi. Tetapi kami ada membincangkan kes Ambon ini dalam Dialog Kewaspadaan Beragma (Wasber) dalam kertas-kerja bertajuk 'Upaya Mewujudkan Kewaspadaan Beragama (Wesber) Pengalaman Indonesia' Dibentangkan oleh Dr H Maratua Simanjuntak pada Sabtu 2 Jun 1011 di Garuda Plaza Hotel, Medana baru lalu."

Antaranya Dr H Maratua Simanjuntak menyebutkan..

" A. Begitu memasuki reformasi, terjadi tren baru yang menyedihkan, iaitu konflik antar suku dan agama.
B. Di mana terjadinya konflik yang memilukan di Sampit, Poso dan Ambom.
C. Yang sebenarnya, hal serupa (juga) terjadi di Aceh di mana etnis tertentu yang sudah puluhan tahun di sana diberlakukan bagaikan kelompok yang halal darahnya dan bukan bagiannya."

Dalam bahagian 'Study Kasus Konflik Poso Dan Ambon' beliau menyebutkan..

"Akar masalah konflik Poso Ambon..
A. Penyebab konflik yang berakibat dari beda agama dan suku, sebenarnya menempati posisi yang sangat rendah, di mana hasil penelitian paca konflik Poso Ambon menunjukkan angka dengan prosentasi 1.7%. Walaupun gaum yang didengar oleh banyak orang di kedua tempat ini terjadi peperangan merah putih.
B. Penyebab konflik di Poso dan Ambon kerana perbedaan miskin kaya, menurut penelitian menduduki angka prosentasi 9.2%
C. Sedangkan angka tertinggi penyebab konflik di Poso dan Ambon adalah kerana motif tekanan dan hasutan, hal ini mencapai angka prosentasi 73.2%.
D. Sementara konflik kerana stigma penduduk asli dan mendatang berada pada prosentrasi 1.8%."

Kawan saya pemimpin Batak yang di atas kapal itu bertanya saya pula.. "Maka, bagaimana solusi ampuhnya dalam menerapkan Kerukunan Beragama?"

"Oh. Banyak. Anataranya, mewaspadai perbedaan agama tanpa pertikaian, mewaspadai hubungan harmonis, mewaspadai hobi kekerasan dan mewaspadai macam-macam...." Kata saya.

"Tetapi pada bahagian analisis ada Dr H Maratua Simanjuntak merumuskan 3 perkara..
1. Diperlukan Tokoh Ideal untuk penanganan Konflik.
2. Perlu dihidupkan kembali budaya bergotongroyongan, anjangsana, dailog warga dan budaya saling kunjung mengunjungi antar tetangga.
3. Perlu digalakkan kebiasaan undang-mengundang antar warga, beda suku dan agama." Jelas saya. Dia nampak bersetuju.

Jadi begitulah kira-kira solusi penyelesaian dalam kes Poso Ambon supaya ianya tidak berulang lagi, bukan sahaja di Indonesia Poso Ambon, atau seperti 13Mei 69 di Malaysia, pembunuhan di Pattani, Filipina Selatan bahkan di tempat-tempat lain lagi di Asia.

Yang penting peringatan Al-Quran, "Wahai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kmu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada sesuatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu."

Marilah, Kembalilah kepada Kerukunan Hidup Beragama.

Akan bersambung, insya Allah. Wassalam.

Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com

KL 26 Ogos 11.

Lihat sebelum ini...
E-Buku IH-41: Kerukunan Umat Beragama

E-Buku IH-41: Kerukunan Umat Beragama

No comments:

Post a Comment