
JEJAK ACEH DI PULAU PINANG
PENANG, orang Malaysia mengejanya dengan ejaan 
keinggris-inggrisan, Peneng, atau dengan sebutan lengkapnya Pulau 
Pinang, terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia. Kini tempat itu 
dapat ditempuh dengan jalan darat dari arah ibu kota Malaysia, Kuala 
Lumpur, melalui jembatan sepanjang 13 kilometer, atau dapat juga 
ditempuh dari Medan dengan kapal feri. Penang kini lebih dikenal sebagai
 kota industri dan mata pencaharian mayoritas penduduknya berhubungan 
dengan sektor ini. Investasi di Penang yang sangat pesat menjadikannya 
sebagai salah satu kota terbesar diMalaysia.
Pantai dan alamnya yang indah menjadikan Penang juga dikenal sebagai 
salah satu tujuan wisata utama di Malaysia. Pernah dikenal dengan 
julukan Pearl of the Orient, Penang bukanlah pulau asing bagi masyarakat
 serantau (Nusantara dan sekitarnya). Pusat kota Pulau Penang terletak 
di pesisir pantai yang dikenal dengan nama Georgetown. Tempat ini hingga
 kini masih menyisakan eksotisme kota lama, dengan arsitektur dari 
berbagai bangsa dan etnis.
Salah satu yang menarik adalah enklave Lebuh Aceh di jantung Georgetown,
 berhadapan dengan enklave Kuil Khoo Kong Si. Lebuh Aceh ini memiliki 
luas 66.000 kaki persegi dengan masjid sebagai penandanya. Sementara 
permukiman dan rumah kedai mengelilinginya sehingga membentuk perimeter 
block dengan masjid dan ruang terbuka di tengah-tengahnya.
“Pada waktu itu orang-orang Aceh banyak sekali berdagang di Pulau 
Pinang, kalau bagi orang yang baharu datang seperti Teuku Nyak Putih, 
tidaklah akan merasa sunyi…, Setelah beberapa hari Teuku Nyak Putih 
berada di Pulau Pinang, ia telah merasa bahawa dia bukannya sampai di 
satu tempat yang baharu, melainkan di salah sebuah kota besar di negeri 
sendiri”. (Abdullah Hussain, 1984)
Sejarah
 masjid dan enklavenya ini berawal dari tahun 1792. Ditandai dengan 
kedatangan pendirinya, yaitu Tengku Syed Hussain Al-Idid, seorang 
bangsawan dari Aceh keturunan Arab dari Hadramaut, Yaman, yang kemudian 
menetap di Penang. Tengku Syed Hussain Al-Idid ini kemudian menjadi 
pedagang Aceh yang kaya dan sukses ketika Penang baru dibuka oleh Kapten
 Sir Francis Light pada akhir abad ke-18.
Dengan kekayaan yang dimilikinya, Tengku Syed Hussain Al-Idid dengan 
bantuan keluarga dan pengikutnya membuka kawasan di Lebuh Aceh. Dia 
mendirikan masjid, menara, rumah kediaman, deretan rumah kedai, Madrasah
 Al Quran, dan kantor perdagangan. Bagi masyarakat Aceh khususnya dan 
Nusantara umumnya, Penang bukanlah sebuah tempat asing. Snouck 
Hurgronje, ahli ilmu agama Islam yang menuliskan catatan tentang Aceh 
pada tahun 1892 pun menyatakan bahwa “Bagi masyarakat Aceh, Penang 
adalah gerbang menuju dunia dalam banyak hal, terutama juga untuk 
memasarkan produk mereka langsung menuju Eropa”.
Kejayaan masyarakat Aceh di Penang tidak terbatas hanya pada masa Tengku Syed Al-Idid, tetapi selepas kematian beliau pada pertengahan abad ke-19, perkampungan ini terus berkembang maju dan telah mencapai kegemilangannya hingga akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Teuku Nyak Putih, ayahanda seniman legendaris melayu P Ramlee pun adalah satu di antara banyak orang Aceh yang sukses di Penang. Keharuman nama para pedagang Aceh di masa silam ini terpancar pula dari keindahan arsitektur masjid ini.
Arsitektur Masjid Lebuh Aceh ini cukup unik karena merupakan gabungan dari gaya Moor, China, dan Klasik. Menara persegi delapan yang berada di sisi utara tepat di pintu masuknya berbentuk seakan pagoda China. Sementara gaya Moor terlihat dari lengkung dan juga plester yang menghiasi dinding dan bagian mihrab. Tiang Klasik berukuran besar tampak menghiasi beranda masjid ini yang lebih mirip seperti pendopo masjid-masjid di Sumatera dan Jawa. Sebagaimana masjid-masjid kuno di Nusantara lainnya, di belakang masjid ini berderet makam orang-orang yang berkaitan erat dengan masjid ini, termasuk Tengku Syed Al-Idid sendiri beserta kerabatnya.
Berbeda dengan masjid yang seluruh dindingnya menggunakan batu bata, 
kebanyakan rumah tinggal di Lebuh Aceh justru mencerminkan rumah 
tradisional. Bahan dinding didominasi kayu dengan pintu berdaun dan 
ukiran kerawang. Terdapat juga beberapa rumah bercirikan rumah 
tradisional kota yang menggunakan bahan batu bata di tingkat bawah dan 
bahan kayu di tingkat atas.
Selain masjid dan rumah tinggal, rumah-rumah kedai yang mengelilingi kawasan ini memiliki keindahan arsitektur yang menarik. Terdapat tiga gaya arsitektur di sini, yaitu arsitektur tradisional, klasik, dan straits eclectic.
Rumah kedai yang berarsitektur tradisional atau permanen awal ini 
berderet antara Nomor 77-81,Acheen Street. Jenis rumah kedai ini tidak 
mempunyai lorong kaki lima di tingkat bawah, sedangkan di tingkat 
atasnya terdapat jendela kayu berdaun.
Jenis rumah kedai Klasik terdapat di alamat Nomor 83-87, Acheen Street. 
Pengaruh arsitektur klasik tampak pada fasad bangunan seperti tiang 
bergaya Corinthia di tingkat bawah, pilaster, jendela lengkung, dan 
ukiran klasik pada dinding. Lorong kaki lima terdapat pada rumah kedai 
jenis ini.
Sementara arsitektur straits eclectic, yaitu arsitektur campuran 
berbagai bentuk yang terdapat pada masyarakat sekitar Selat Malaka 
seperti di Penang, Melaka, atau Singapura tampak pada rumah yang 
beralamat di Nomor 47-55, Acheen Street. Rumah-rumah kedai ini memiliki 
lorong kaki lima, tiang pendukung, dinding penghalang (party walls), 
serta sumur udara di dalam interiornya, sebagaimana rumah- rumah kedai 
pada permukiman masyarakat selat lainnya.

KOMPLEKS Masjid Lebuh Aceh dan bangunan di sekelilingnya 
merupakan tanah wakaf yang tidak dapat diperjualbelikan. Secara 
turun-temurun kawasan ini ditinggali tidak hanya oleh masyarakat Aceh di
 Penang, tetapi juga dari Arab, Yaman, dan Melayu sendiri. Apalagi letak
 Lebuh Aceh ini yang berdekatan dengan permukiman dari berbagai bangsa 
dan etnis. Georgetown memang dikenal sebagai kawasan majemuk yang 
berasal dari etnis dan agama berbeda. Semua itu hingga kini masih 
terpancar dari arsitektur bangunan di dalamnya.
Masjid Lebuh Aceh ini semakin istimewa karena tidak hanya berfungsi 
sebagai basis masyarakat Islam di Penang, namun juga menjadi “Jeddah 
kedua” bagi masyarakat serantau yang akan menunaikan ibadah haji ke 
Tanah Suci. Kompleks ini senantiasa dipadati jemaah sepanjang musim 
haji, dan bahkan hampir sepanjang tahun. Perjalanan dengan kapal laut 
saat itu yang memakan waktu hampir setengah tahun menjadikan kompleks 
masjid ini didiami pengantar jemaah haji dan selama menunggu jemaah 
pulang dari Tanah Suci. Begitu seterusnya hingga musim haji berikutnya 
tiba. Berbagai jenis perdagangan dari mulai rempah ratus, bazar makanan,
 percetakan buku-buku agama Islam, warung makan, hingga jasa pengurusan 
haji mengelilingi kesemarakan masjid ini.
Tradisi mengunjungi Masjid Lebuh Aceh sebelum pergi haji kini semakin 
lama semakin pudar. Keramaian suasana semakin berkurang. Kini Masjid 
Lebuh Aceh hanya digunakan dua kali shalat Jumat dalam sebulan 
bergantian dengan Masjid Kapitan Keling yang juga berada di salah satu 
blok kota lamaGeorgetown ini.
Keberadaannya yang semakin renta menggerakkan sejumlah pelestari warisan
 budaya untuk memugar masjid ini. Pada akhir dekade 1990-an masjid yang 
sudah berumur lebih dari 200 tahun ini dipugar dan dikonservasi 
sebagaimana bentuk aslinya oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan 
Universiti Sains Malaysia dengan dana dari pihak pemerintah bandaraya 
Penang. Tidak tanggung-tanggung Gubernur Aceh pada saat itu, Profesor 
Syamsudin Mahmud, pun turut berkunjung pada saat bangunan dipugar.
Meski demikian, kompleks enklave ini kini masih terus menjadi sengketa. 
Meski statusnya sebagai tanah wakaf yang tidak dapat diperjualbelikan, 
letaknya yang strategis di pusat kota dan tingginya nilai lahan di 
Georgetown ini menjadikan kompleks bangunan di sekeliling Masjid Lebuh 
Aceh diincar banyak pihak. Isu-isu manajemen tanah wakaf, konservasi, 
dan kepentingan kapital menjadi mengemuka. Permasalahan ini cukup 
merisaukan banyak pihak, mengingat kompleks masjid ini merupakan warisan
 arsitektur sekaligus saksi sejarah bangsa kita di negeri tetangga, 
Malaysia.(IH)
Sebelum ini..
 E-Buku IH-61: P.Kebajikan B/Aceh M'sia

No comments:
Post a Comment