Monday, March 19, 2012

Sejarah Cina Islam & Cheng Ho Masuk Kalimantan


CATATAN PERJALANAN: Kalimantan siri 14

BERITA ini, membuat aku berpaling sejenak melihat bagaimana kedatangan orang Cina ke Kalimantan.

Senin, 16 Januari 2012: Masjid Banjarmasin Akan Bangun Masjid Berarsitektur Cina.

Banjarmasin, PelitaOnline -Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin Kalimantan Selatan segera membangun sebuah masjid Cheng Ho, yaitu masjid berarsitektur Cina di kawasan kepariwisataan sungai kota setempat.

Wali Kota Banjarmasin, Haji Muhidin bersama sejumlah pejabat di lingkungan Pemko Banjarmasin saat meninjau lokasi pembangunan masjid Cheng Ho di Jalan Pire Tendean Banjarmasin, Senin, mengatakan rencana pembangunan itu sudah final.

Tahun ini juga sudah mulai dibangun dengan dana awal Rp1,5 miliar, dan kemungkinan dana itu lebih besar lagi yang dihimpun dari berbagai sumber, tetapi bukan dana dari Pemkot setempat.

Diberitakan Antara, Pemkot Banjarmasin hanya menyediakan lahan, untuk membangunnya menggunakan dana donatur terutama dari kalangan kaum muslim Cina yang tergabung dalam anggota Persatuan Iman Tauhid Islam (PITI), setempat.

Bentuk masjid gabungan antara ornamen bernuansa Cina dengan Budaya Banjar, tetapi bentuk dasarnya seperti perahu tambangan, sebuah perahu khas Banjar.

Karena berada di tengah lokasi kepariwisataan sungai maka bentuk masjid menyesuaikan yaitu bentuk perahu, sehingga unik dan menarik dan diharapkan bangunan masjid akan menjadi ikon kawasan setempat," kata Haji Muhidin.

Masjid tersebut akan menjadi bagian kepariwisataan sungai dan di wilayah tersebut juga akan dibangun dermaga angkutan kepariwisataan air, menara pantau, monumen Bekantan (kera hidung panjang/Nasalis larvatus), dan fasilitas pariwisata, lainnya.

Hanya saja, katanya lantaran di lokasi itu sudah ada sebuah surau bersejarah yaitu surau dari habib Al Hinduan maka pembangunan itu bisa jadi disatukan sehingga nantinya menjadi masjid Cheng Ho Al Hinduan, katanya.

Tetapi tambahnya, kalau keinginan Pemkot tersebut disetujui oleh pengurus surau Al Hinduan, dan itu harus dibicarakan dulu dengan Rabitah Alawiyah, tambahnya.

Mengambil nama Cheng Ho karena Cheng Ho adalah panglima perang Bangsa Cina yang beragama Islam yang pernah datang ke Indonesia.

Begitu beritanya.
Sambutan sempena Muhammad Cheng Ho di Kelantan

Sebenarnya keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama kali di Nusantara hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno. Contohnya, seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, Kalimatan Barat dapat ditemukan genderang (genta) perunggu Dongson di Jawa, Bali dan dataran Pasemah, Sumatera Selatan.

Sejak abad ketiga, pelaut Cina telah berlayar ke Indonesia untuk melakukan perdagangan. Rute pelayaran menyusuri pantai Asia Timur, pulangnya melalui Kalimantan Barat dan Filipina. Pada abad ketujuh, hubungan Tiongkok dengan Kalimantan Barat sudah sering terjadi, tetapi belum menetap. Imigran dari Cina kemudian masuk ke Kerajaan Sambas dan Mempawah. Kemudian terorganisir dalam kongsi sosial politik yang berpusat di Monterado dan Bodok.

Kerajaan Sambas dan Mandor dalam Kerajaan Mempawah. Pasukan Khubilai Khan di bawah pimpinan Ike Meso, Shih Pi dan Khau Sing dalam perjalanannya untuk menghukum Kertanegara, singgah di kepulauan Karimata yang terletak berhadapan dengan Kerajaan Tanjungpura. Kerana kekalahan pasukan ini dari angkatan perang Jawa dan takut mendapat hukuman dari Khubilai Khan, kemungkinan besar beberapa dari mereka melarikan diri menetap di Kalimantan Barat.

Pada tahun 1407, di Sambas didirikan Muslim/Hanafi - Chinese Community. Tahun 1463 laksamana Cheng Ho, seorang Hui dari Yunan, atas perintah Kaisar Cheng Tsu alias Jung Lo (kaisar keempat dinasti Ming) selama tujuh kali memimpin ekspedisi pelayaran ke Nan Yang. Beberapa anak buahnya ada yang kemudian menetap di Kalimantan Barat dan membaur dengan penduduk setempat. Mereka juga membawa ajaran Islam yang mereka anut sejak abad 17.

Di abad ke-17 hijrah bangsa Cina ke Kalimantan Barat menempuh dua rute yakni melalui Indocina , Malaya - Kalimantan Barat dan Borneo Utara. Tahun 1745, orang Cina didatangkan besar-besaran untuk kepentingan perkongsian, kerana Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah menggunakan tenaga-tenaga orang Cina sebagai wajib rodi dipekerjakan di lombong-lombng emas. Kedatangan mereka di Monterado membentuk kongsi Taikong (Parit Besar) dan SamtoKiaw (Tiga Jembatan).
Tahun 1770, orang-orang Cina perkongsian yang berpusat di Monterado dan Bodok berperang dengan suku Dayak menewaskan kepala suku Dayak di kedua daerah itu. Sultan Sambas kemudian menetapkan orang-orang Cina di kedua daerah tersebut hanya tunduk kepada Sultan dan wajib membayar upeti setiap bulan, bukan setiap tahun seperti sebelumnya. Tetapi mereka diberi kekuasaan mengatur pemerintahan, pengadilan, keamanan dan sebagainya.

Cheng Ho

Semenjak itu timbul Republik Kecil yang berpusat di Monterado dan orang Dayak pindah ke daerah yang aman dari orang Cina. Pada Oktober 1771 kota Pontianak berdiri. Tahun 1772 datang seorang bernama Lo Fong (Pak) dari kampung Shak Shan Po, Kunyichu, Kanton membawa 100 keluarganya mendarat di Siantan, Pontianak Utara. Sebelumnya di Pontianak sudah ada kongsi Tszu Sjin dari suku Tio Ciu yang memandang Lo Fong sebagai orang penting. Mandor dan sekitarnya juga telah didiami suku Tio Ciu, terutama dari Tioyo dan Kityo.

Daerah Mimbong didiami pekerja dari Kun-tsu dan Tai-pu. Seorang bernama Liu Kon Siong tinggal dengan lebih dari lima ratus keluarganya, mengangkat dirinya sebagai Tai-Ko di sana. Di San Sim (Tengah-tengah Pegunungan) berdiam pekerja dari daerah Thai-Phu dan berada di bawah kekuasaan Tong A Tsoi sebagai Tai-Ko. Lo Fong kemudian pindah ke Mandor dan membangun rumah untuk rakyat, majlis umum (Thong) serta pasar.

Namun ia merasa tersaing oleh Mao Yien yang memiliki pasar 220 pintu, terdiri dari 200 pintu pasar lama. Pasar yang didiami masyarakat Tio Tjiu, Kti-Yo, Hai Fung dan Liuk Fung dengan Tai-Ko Ung Kui Peh, serta 20 pintu pasar baru didiami masyarakat asal Kia Yin Tju dengan Tai-Ko Kong Mew Pak. Mao Yien juga mendirikan benteng Lan Fo (Anggrek Persatuan) dan mengangkat 4 pembantu dengan nama Lo-Man.

Lo Fong kemudian mengutus Liu Thoi Ni untuk membawa surat rahsia kepada Ung Kui Peh dan Kong Mew Pak, sehingga mereka terpaksa menyerah dan menggabungkan diri di bawah kekuasaan Lo Fong tanpa pertumpahan darah. Lo Fong kemudian juga merebut kekuasaan Tai-Ko Liu Kon Siong di daerah Min Bong (Benuang) sampai ke San King (Air Mati).

Pertengahan abad 18 Lo Fong kemudian menguasai lombong emas Liu Kon Siong dan lombong perak Pangeran Sita dari Ngabang. Kekuasaan Lo Fong meliputi kerajaan Mempawah, Pontianak dan Landak dan disatukan pada tahun 1777 dengan nama Republik Lan Fong. Tahun 1795 Lo Fong meninggal dunia dan dimakamkan di Sak Dja Mandor. Republik yang setiap tahun mengirim upeti kepada Kaisar Tiongkok ini pun bubar. Oleh orang Cina Mandor disebut Toeng Ban Lit (daerah timur dengan 1000undang-undang. .)

Tahun 1795, berkobar pertempuran antara kongsi Tai-Kong yang berpusat di Monterado dengan kongsi Sam Tiu Kiu yang berpusat di Sambas kerana pihak Sam Tiu Kiu melakukan penggalian emas di Sungai Raya Singkawang, daerah kekuasaan Tai-Kong. Tahun 1796, dengan bantuan kerajaan Sambas, kongsi Sam Tiu Kiu berhasil menguasai Monterado. Namun seorang panglima sultan bernama Tengku Sambo mati terbunuh ketika menyerbu benteng terakhir kongsi Tai Kong. Perang ini oleh rakyat Sambas disebut juga Perang Tengku Sambo.

Pada 6 September 1818 Belanda masuk ke Kerajaan Sambas. Pada 23 September Muller dilantik sebagai Pejabat Residen Sambas dan esoknya mengumumkan Monterado di bawah kekuasaan pemerintahan Belanda. Pada 28 November diadakan pula pertemuan dengan kepala-kepala kongsi dan orang-orang Cina di Sambas.

Pada tahun 1819, masyarakat Cina di Sambas dan Mandor memberontak dan tidak mengakui pemerintahan Belanda. Seribu orang dari Mandor menyerang kongsi Belanda di Pontianak. Pada 22 September 1822 diumumkan hasil perundingan segitiga antara Sultan Pontianak, pemerintahan Belanda dan kepala-kepala kongsi Cina.

Namun pada 1823, setelah berhasil menguasai daerah Lara, Sin Ta Kiu (Sam Tiu Kiu), Sambas, kongsi Tai Kong mengadakan pemberontakan terhadap Belanda kerana merasa hasil perundingan merugikan pihaknya. Dengan bantuan Sam Tiu Kiu dan orang-orang Cina di Sambas, kongsi Tai Kong kemudian dipukul mundur ke Monterado.

Setelah gagal pada serangan kedua pada 28 Februari 1823, pada 5 Mac penduduk Cina yang memberontak menyatakan menyerah dan kemudian 11 Mei komisaris Belanda mengeluarkan peraturan-peraturan dan kewajiban-kewajiban kongsi-kongsi. Tahun 1850, kerajaan Sambas yang dipimpin Sultan Abubakar Tadjudin II hampir jatuh ke tangan perkongsian gabungan Tai Kong, Sam Tiu Kiu dan Mang Kit Tiu.

Kerajaan Sambas meminta bantuan kepada Belanda. Tahun 1851, kompeni Belanda tiba dipimpin Overste Zorg yang kemudian gugur ketika perebutan benteng pusat pertahanan Sam Tiu Kiu di Seminis Pemangkat. Ia dimakamkan di bukit Penibungan, Pemangkat. Setelah Abad 18 tahun 1854 pemberontakan kian meluas dan didukung bangsa Cina yang di luar perkongsian. Belanda kemudian mengirimkan pasukan tambahan ke Sambas yang dipimpin Residen Anderson.

Akhirnya pada 1856 Republik Monterado yang telah berdiri selama 100 tahun berhasil dikalahkan. Tanggal 4 Januari 1857 Belanda mengambil alih kekuasaan Cina di kerajaan Mempawah, dan tahun 1884 seluruh perkongsian Cina di Kalimantan Barat dibubarkan oleh Belanda.

Tahun 1914, bertepatan dengan Perang Dunia I, terjadi pemberontakan Sam Tiam (tiga mata, tiga kode, tiga cara). Pemberontakan di Monterado dipimpin oleh bekas keluarga Republik Monterado, sedangkan pemberontakan di Mempawah dipimpin oleh bekas keluarga Republik Lan Fong. Mereka juga dibantu oleh masyarakat Melayu dan Dayak yang dipaksa untuk berpartisipasi. Pemberontakan berakhir tahun 1916 dengan kemenangan di pihak Belanda.

Belanda kemudian mendirikan tugu peringatan di Mandor bagi prajurit-prajuritnya yang gugur selama dua kali pemberontakan Cina (tahun 1854-1856 dan 1914-1916). Perang 1914-1916 dinamakan Perang Kenceng oleh masyarakat Kalimantan Barat. Tahun 1921-1929 kerana di Tiongkok (Cina) terjadi perang saudara, imigrasi besar-besaran orang Cina kembali terjadi dengan daerah tujuan Semenanjung Malaya, Serawak dan Kalimantan Barat.

Mengapa kaum Cina yang datang melalui Islam, tetapi akhirnya tiada dengar lagi perkembangan Islamnya? Begitu juga di Melaka yang juga bermula dengan kedatangan Lalsamana Cheng Ho, tetapi tiada dengar lagi Islamnya, walaupun banyak masjid-masjid di Melaka berunsurkan Cina.

Bersambung, Insya Allah!

Ibnu Hasyim
alamat: ibnuhasyim@gmail.com

28 Feb 2012
Pontianak, Kalimantan Barat.

Lihat catatan perjalanan...

E-Buku IH-52: Kaligrafi Cina & Islam
E-Buku IH-52: Kaligrafi Cina & Islam
E-Buku IH-4: Ke China Bersama Datuk Husam
E-Buku IH-4: Ke China Bersama Datuk Husam
E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan
E-Buku IH-51: Perjalanan Ke Kalimantan

No comments:

Post a Comment